![]() |
Ilustrasi. Dok. Meta AI |
Di sebuah halte kecil yang hampir lapuk dimakan waktu, dua orang duduk diam.
Langit mendung, sore itu terasa murung.
Namanya Raka—kemeja rapi, sepatu mengilap, dan wajah lelah yang tak bisa disembunyikan. Di sebelahnya duduk seorang pemuda dengan hoodie lusuh, celana robek, dan mata tajam penuh curiga. Namanya Yuda.
Mereka tak saling bicara. Hanya suara angin dan kendaraan lewat yang menemani diam mereka.
“Capek ya?” tanya Yuda tiba-tiba, suaranya serak.
Raka menoleh, sedikit heran. “Iya... bisa dibilang begitu.”
“Kerja?”
Raka mengangguk. “Kamu?”
Yuda tertawa pendek. “Kerja juga. Ngerjain hidup.”
Jawaban itu menggantung. Aneh, jujur, tapi mengena.
Raka memandang pemuda itu lebih lama kali ini. Wajahnya masih muda, tapi sorot matanya tua. Seperti pernah kalah banyak, tapi tetap bertahan dengan cara yang dunia tak ajarkan.
“Kenapa di sini?” tanya Raka.
Yuda mengangkat bahu. “Tempatnya tenang. Gak banyak orang sok tahu.”
Diam lagi. Tapi bukan diam canggung. Diam yang pelan-pelan menjahit kejujuran.
“Tahu gak,” kata Yuda sambil menatap langit, “hidup itu kayak koin. Selalu ada dua sisi. Tapi orang cuma mau lihat sisi yang kinclong. Yang satu lagi, disembunyiin.”
Raka mengangguk pelan. “Aku tahu. Di kantor, aku manajer. Di rumah, aku suami yang gagal. Istriku pergi minggu lalu. Katanya aku terlalu sibuk cari uang, sampai lupa cara pulang.”
Yuda tertawa kecut. “Sama aja. Aku tukang parkir di malam hari, penjaga warnet siang hari. Tapi buat ibu aku, aku tetap anak yang gak punya arah.”
Seketika, dua dunia yang tampak jauh, mendadak berdempetan. Dua sisi koin yang saling melihat.
“Tapi tahu gak,” ujar Yuda, “walau sisi satu koin kotor, tanpa itu, koinnya gak utuh.”
Raka tersenyum kecil. “Kamu belajar itu di mana?”
“Dari hidup.”
Jawabannya singkat, tapi terasa dalam.
Langit mulai gerimis. Raka berdiri, merapikan jasnya.
“Aku lupa rasanya ngobrol tanpa harus jaga citra,” katanya.
Yuda hanya nyengir. “Gak semua orang mau denger sisi yang satunya. Tapi kadang, itu justru yang paling nyata.”
Sebelum pergi, Raka membuka dompet.
“Ini bukan buat kasihan,” katanya, menyodorkan uang.
Yuda menolak. “Gue gak minta. Tapi kalau mau balik lagi besok sore, duduk di sini, ngobrol… itu boleh.”
Raka tertawa. “Deal.”
Dan hari itu, dua orang yang dunia pikir berbeda, menemukan satu hal yang sama: bahwa setiap orang punya dua sisi—dan keduanya layak dihargai.
Hikmah
Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi... tapi seseorang yang mau melihat sisi kita yang tak pernah kita tunjukkan.
Oleh: Aniyah