Oleh Dra. Rahma
Praktisi Pendidikan
Sekularisme merupakan sistem rusak dan merusak. Kapitalisme tumbuh subur dengan menjadikan harta sebagai tolok ukur sebuah kebahagiaan. Definisi kebahagiaan dan kesuksesan digambarkan dengan kemewahan di antaranya memiliki rumah yang bagus, kendaraan yang gagah, perhiasan yang cantik hingga barang-barang bergengsi. Alhasil, banyak orang yang bekerja keras mati-matian untuk mendapatkan itu semua dan demi validasi atau diakui sebagai orang yang sukses di tengah-tengah masyarakat.
Pada akhirnya tolok ukur kebahagiaan yang semu seperti ini menyeret banyak orang untuk menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya hanya demi kebahagiaan yang sifatnya hanya sementara saja.
Memang, dalam pandangan Islam, bekerja dengan giat dan semangat menjadi sebuah keharusan. Namun, juga harus memahami setiap pekerjaan yang dikerjakan haruslah diiringi dengan ketaatan kepada Allah SWT dan tetap menjadikan ibadah sebagai prioritas utama. Tidak melalaikan urusan agama dan dakwah, tidak juga disibukkan untuk menyenangkan hati atasan saja. Namun, juga wajib menyenangkan hati Sang Maha Pemberi Rezeki sebagai bentuk syukur kepada-Nya. Ada pun harta yang telah terkumpul adalah sarana dan jalan menuju ketaatan bukan untuk sebuah pengakuan status sosial di masyarakat.
Di sisi lain, kapitalisme mengubah gaya hidup masyarakat yang awalnya sederhana kini berubah menjadi gaya hidup konsumtif dan hedonisme. Seperti peribahasa yang begitu populer, "Besar pasak daripada tiang." Besar pengeluaran daripada pendapatan.
Gaya hidup yang konsumtif dan hedonisme ini telah menggiring banyak orang untuk mudah terjerat dalam utang ribawi dalam bentuk KPR, kartu kredit, cicilan-leasing, paylater hingga pinjaman online.
Mirisnya lagi semua produk pinjaman berbasis riba ini difasilitasi oleh negara sehingga masyarakat mengganggap bahwa riba adalah hal yang lumrah. Padahal, dalam pandangan Islam, riba adalah dosa besar dan bentuk kezaliman yang pelakunya berani berperang melawan Allah dan Rasul-Nya. Na'uzubillahiminzalik.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilam riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" (TQS al-Baqarah: 279).
Dari ayat ini kita bisa mengambil hikmah dan pesan cinta dari Allah SWT bahwa riba mendatangkan banyak kerusakan, kezaliman dan kesengsaraan. Kita harus menyadari, sistem kapitalis yang bertengger di benak kaum Muslim saat ini harus diganti dengan sistem Islam yang mampu mengubah pola pikir dan sikap dari individu, masyarakat dan negara agar berjalan sesuai dengan koridor syariat Islam.
Maka, sebagai Muslim hendaknya kita menyadari bahwa tolok ukur kebahagiaan adalah rida-Nya Allah SWT. Jadi kita tidak perlu berlelah-lelah hanya karena haus validasi atau pengakuan dari manusia. Cukup jadikan Allah dan syariat Islam sebagai prioritas utama dalam mengarungi luasnya samudera kehidupan.
