Pekanbaru — Rabu 26 November 2025 Germas PPA bersama puluhan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) yang tergabung dalam Aliansi Anti-Bullying kembali menggelar aksi di depan Kantor DPRD Provinsi Riau untuk mengenang enam bulan kepergian Kristhopel Butar-Butar, siswa yang menjadi korban bullying dan kekerasan hingga meninggal dunia.
Puluhan mahasiswa melakukan orasi secara bergantian, menyampaikan keresahan yang tengah terjadi di Provinsi Riau, mulai dari minimnya perlindungan anak, lemahnya penegakan hukum, hingga persoalan pendidikan dan beasiswa yang tidak tepat sasaran.
Wakil Ketua Umum Germas PPA Indonesia, Rika Parlina, S.H., menyampaikan kritik keras terhadap kinerja Dinas PPA Provinsi Riau yang dinilai tidak memahami tugas dan fungsinya dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak.
> “Dinas PPA Provinsi Riau jelas tidak memahami tufoksi mereka. Dalam kasus Kristhopel, mereka tidak melakukan pengawasan yang memadai, tidak hadir sebagai pelindung anak, dan justru melempar tanggung jawab. Alasan defisit anggaran tidak bisa menjadi pembenaran atas kelalaian ini. Ketika lembaga yang seharusnya melindungi malah abai, maka ada kegagalan serius dalam sistem perlindungan anak di Riau.”
Orang tua Kristhopel turut hadir dalam aksi ini. Dengan penuh haru dan keberanian, mereka menyampaikan langsung kepada DPRD bahwa enam bulan telah berlalu, namun keadilan untuk anak mereka belum juga hadir.
Mereka menegaskan bahwa DPRD sebagai wakil rakyat wajib mendengar, menindaklanjuti, dan memperjuangkan keadilan bagi korban.
Aksi mahasiswa akhirnya diterima oleh Anggota Komisi I DPRD Provinsi Riau, Andi Dharma Taufiq, yang turun langsung membersamai massa dan mengajak 10 perwakilan mahasiswa untuk berdialog di ruang Komisi I.
Dalam pertemuan tersebut, Andi Dharma Taufiq menyampaikan komitmen DPRD untuk menindaklanjuti kasus ini dan meminta waktu dua minggu guna mendalami permasalahan, berkoordinasi dengan instansi terkait, dan memastikan proses hukum berjalan.
Selain isu perlindungan anak, mahasiswa juga menyoroti persoalan pendidikan. Rabbi Fernanda, perwakilan mahasiswa Fakultas Hukum UMRI, mengkritik keras ketidaktepatan sasaran penyaluran beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu.
> “Kami menemukan banyak beasiswa diberikan kepada mahasiswa yang secara ekonomi mampu, sedangkan mahasiswa yang benar-benar membutuhkan malah tidak tersentuh. Ini bentuk ketidakadilan yang tidak boleh dibiarkan. Dinas terkait harus melakukan cross-check menyeluruh agar beasiswa tidak jatuh ke tangan yang salah.”
Rabbi menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, bukan fasilitas untuk mereka yang memiliki kedekatan atau privilese tertentu.
Aksi ini menjadi bentuk komitmen mahasiswa untuk terus mengawal kasus Kristhopel Butar-Butar serta menuntut pembenahan menyeluruh terhadap sistem perlindungan anak dan kebijakan pendidikan di Provinsi Riau.