Oleh: Delfiani
Pegiat Literasi
Bumi ini kaya, tapi rakyat tetap miskin. Tiga ratus triliun raib dari tambang ilegal. Saatnya bertanya: untuk siapa sesungguhnya kekayaan negeri ini? Islam telah membawa jawabannya...
Indonesia, negeri yang diberkahi dengan perut bumi penuh emas, nikel, timah, batu bara, hingga minyak dan gas. Namun betapa miris, limpahan itu tak pernah menjadi rahmat yang mensejahterakan umat. Justru skandal demi skandal mencuat, memperlihatkan bagaimana kekayaan negeri ini menjadi rebutan segelintir elit.
Pernyataan Presiden tentang kerugian negara mencapai Rp300 triliun akibat tambang ilegal bukan sekadar peringatan ekonomi, itu adalah pengakuan kegagalan negara menjaga amanah publik. Ironisnya, di tengah kegaduhan itu, solusi yang ditawarkan bukanlah pengembalian kendali negara atas tambang, melainkan penyerahan izin tambang kepada koperasi dan UMKM. Seakan tambang hanyalah lapak dagang biasa, bukan sumber daya strategis milik seluruh rakyat.
Tambang Jadi Bancakan Oligarki
Jika benar tambang adalah milik rakyat, maka seharusnya rakyat yang paling merasakan manfaatnya. Namun realitas berkata sebaliknya, sumber daya yang diklaim sebagai aset negara justru menjadi ladang bancakan para pemilik modal. Negara hadir bukan sebagai pengurus, melainkan sekadar penjaga gerbang kepentingan korporasi.
Pertama, penyerahan Barang Rampasan Negara dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk mengungkap kerugian fantastis sebesar Rp300 triliun, angka yang seharusnya mampu membangun jutaan rumah bagi rakyat miskin atau menyejahterakan para buruh dan petani.
Kedua, keberadaan ribuan tambang ilegal yang tetap beroperasi tanpa pengawasan menunjukkan ini bukan sekadar kebocoran, melainkan buah dari pembiaran sistematis. Ada mata yang sengaja buta, telinga yang sengaja tuli, demi memastikan aliran cuan tetap mengalir ke kantong para pemodal.
Ketiga, kebijakan pengelolaan tambang oleh koperasi dan UMKM atas nama pemerataan ekonomi hanyalah ilusi. Siapa yang percaya koperasi rakyat bisa mengelola tambang raksasa? Mereka tak punya modal miliaran, tak punya teknologi, tak punya akses eksplorasi. Pada akhirnya, mereka akan menggandeng korporasi besar. Tetap oligarki lama, hanya saja kini mengenakan kostum baru bernama “ekonomi kerakyatan."
Di sinilah wajah asli kapitalisme tersingkap. Sistem ini menempatkan negara hanya sebagai regulator, bukan pengurus. Negara tak lagi menjaga harta rakyat, tapi sekadar membagi izin kuasa kepada pemodal. Kekayaan alam dijadikan komoditas, bukan amanah. Akibatnya, rakyat hanya jadi penonton di atas tanahnya sendiri.
Ironinya, masyarakat sekitar tambang hidup dalam lumpur kemiskinan, sementara miliaran dolar mengalir ke kantong korporasi. Air mereka tercemar, tanah hancur, tetapi negara sibuk menandatangani izin baru atas nama investasi.
Kapitalisme selalu punya satu dalih suci yaitu pertumbuhan ekonomi. Tapi pertumbuhan itu hanya menumbuhkan kerajaan bisnis para taipan, sementara rakyat dibiarkan berebut bantuan sosial. Tambang, di tangan kapitalisme, bukan lagi rahmat, tapi kutukan.
Islam: Menjaga Tambang Sebagai Amanah, Bukan Barang Dagang
Islam datang dengan konsep tegas tentang kepemilikan. Dalam pandangan syariah, tambang besar yang menjadi sumber daya strategis adalah milik umum. Rasulullah saw. bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Tidak ada ruang bagi swastanisasi, privatisasi, atau penyerahan kepada koperasi jika muaranya tetap korporasi.
Ada tiga prinsip utama dalam sistem Islam:
Pertama, negara mengelola, bukan menjual amanah.
Negara wajib mengelola langsung tambang dan mengalokasikan seluruh hasilnya untuk pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan umat.
Kedua, tidak ada izin untuk oligarki.
Dalam sistem Islam, pintu kolusi dan privatisasi tertutup rapat. Negara tunduk kepada hukum Allah, bukan kepada kekuatan modal atau tekanan asing.
Ketiga, pengawasan syariah dan tanggung jawab lingkungan.
Islam memperhitungkan keberlanjutan alam. Tidak ada eksploitasi rakus yang mengorbankan rakyat sekitar. Setiap pengelolaan adalah amanah, bukan industri rakus.
Saatnya Umat Menagih Haknya
Skandal Rp300 triliun itu bukan sekadar kasus hukum. Itu adalah peringatan keras bahwa negara telah lalai menjaga harta rakyat. Selama kapitalisme menjadi poros kebijakan, tambang akan terus menjadi bancakan oligarki. Dan rakyat? Tetap jadi penonton lapar di atas tanah emas.
Maka pertanyaan itu harus ditegaskan kembali, untuk siapa sesungguhnya kekayaan bumi ini dikelola?
Jika jawabannya bukan untuk rakyat, maka ada sistem yang harus diganti.
Islam tidak sekadar menawarkan solusi ekonomi. Islam mengembalikan hak umat atas bumi. Di bawah kepemimpinan Islam, tambang bukan komoditas, melainkan amanah. Bukan untuk menopang rezim, tetapi untuk menghidupi umat.
Sebuah bangsa tak akan bangkit selama kekayaannya dijarah di depan mata. Dan umat tak akan merdeka selama syariat tidak ditegakkan atas bumi ini.
Karena tambang adalah milik umat. Dan umat menuntut haknya kembali.
Wallahu a’lam bishshawab.
