Oleh Sumiyah Umi Hanifah
Pemerhati Kebijakan Publik
Kebebasan mengeluarkan pendapat
merupakan satu dari empat pilar dalam penerapan sistem Demokrasi. Kebebasan
berpendapat di negeri ini secara vulgar telah tertulis dalam Undang-Undang
(UU). Namun anehnya, suara rakyat banyak yang dibungkam sedemikan rupa,
sehingga mereka pun sulit mendapatkan keadilan. Slogan "Vox Populi Vok
Dei" (suara rakyat adalah suara Tuhan) ternyata hanya omong kosong belaka.
Faktanya, tidak sedikit masyarakat kita yang ingin menyampaikan aspirasinya,
namun ujung-ujungnya justru dikriminalisasi.
Sebagaimana berita yang beredar di
berbagai media massa, sebanyak 959 orang yang resmi ditetapkan sebagai
tersangka oleh pihak kepolisian Indonesia, pada Rabu, 24 Agustus 2025.
Penetapan status tersangka ini merupakan buntut dari aksi demonstrasi yang
terjadi pada akhir Agustus 2025 lalu. Para demonstran mengkritisi kebijakan
pemerintah yang menaikkan besaran tunjangan Anggota DPR secara fantastik, di
tengah kondisi ekonomi rakyat yang sedang tercekik. Menurut Kepala Badan
Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal (Komjen)
Syahardiantono, pihaknya menangkap 664 orang usia dewasa dan 295 yang berstatus
'anak' atau remaja (Gen Z).
Dilansir dari laman kompas.com,
Jumat, (26/9/2025), penangkapan terhadap anak (Gen Z) mendapatkan berbagai
sorotan dari berbagai kalangan. Di antaranya yaitu dari Ketua Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah. Beliau bahkan mengingatkan kepada
pihak kepolisian akan adanya potensi pelanggaran HAM dalam penetapan anak-anak
sebagai tersangka anarkisme. Menurutnya, proses penyelidikan terhadap anak usia
remaja tersebut sarat ancaman dan intimidasi.
Anis mengingkatkan bahwasanya pihak kepolisian harus mengkaji ulang
apakah penetapan terhadap para tersangka Gen Z ini telah sesuai dengan hukum
acara pidana dalam sistem peradilan anak atau belum? Sebab, apabila belum atau tidak sesuai, maka
nantinya bisa terjadi potensi (risiko) pelanggaran HAM dalam proses penegakkan
hukum." jelasnya.
Senada dengan yang diucapkan oleh
Ketua Komnas HAM,
Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono
juga menyebutkan bahwa penangkapan terhadap tersangka berstatus anak tidak
memenuhi standar Undang-Undang (UU) Peradilan Anak. Beliau bahkan membeberkan
beberapa fakta yang terjadi di lapangan. "Pada saat penangkapan ada anak
yang diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat, dan ada anak pula yang
mendapatkan ancaman akan dikeluarkan dari sekolahnya."
Fakta ini tentu menjadi sesuatu yang
miris, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Namun masih banyak tindakan kriminal yang justru
dilakukan oleh petugas negara, tentu dengan dalih untuk menjaga keamanan. Padahal,
para petugas keamanan negara seharusnya bertindak sebagai pengayom dan
pelindung masyarakat. Apabila ada aksi massa yang menjurus kepada perbuatan
anarkis, seharusnya negara dengan bijak mencari tahu apa yang melatarbelakangi
perbuatan anarkis tersebut. Tentu dengan melakukan edukasi secara masif dan
intensif.
Tidak dimungkiri, kebebasan dalam
mengakses internet dewasa ini telah merusak kewarasan dan daya pikir
masyarakat, terutama kaum Gen Z. Berbagai jenis tayangan yang dapat merusak
moral, menampilkan tindakan asusila, dan tindakan kekerasan berseliweran di
gadget mereka. Belum lagi adanya situs-situs liar yang mempertontonkan berbagai
konten kekerasan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik, jelas menjadi
pencetus lahirnya generasi yang krisis akhlak, anarkis, dan nir empati. Ini
yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah, yakni menutup situs-situs
yang jelas-jelas merusak moral warga
negaranya.
Pada dasarnya potensi Gen Z sangat
luar biasa apabila diarahkan sesuai dengan fitrahnya. Generasi muda (Gen Z)
adalah manusia biasa yang memiliki gharizah baqa' yaitu naluri untuk
mempertahankan diri. Mereka memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu,
termasuk kecenderungan untuk menolak kezaliman dan kecenderungan untuk
mendapatkan keadilan.
Akhir-akhir ini Gen Z muncul sebagai
kekuatan baru yang tidak bisa dianggap remeh. Mereka adalah generasi yang lahir
di era digital dan tumbuh di antara kemudahan dalam mengakses informasi yang
sangat luas, sehingga mereka pun memiliki sisi positif serta negatif. Dari sisi
positif di antaranya yaitu berani menyuarakan aspirasi masyarakat secara
terbuka di depan publik. Hal ini menunjukkan bahwa telah muncul kesadaran
politik pada diri Gen Z, yang mana hal ini ditandai dengan keikutsertaan mereka
dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Negara seharusnya tidak perlu
khawatir dengan keikutsertaan mereka dalam menyuarakan aspirasinya. Sebab,
dalam hal ini justru berkewajiban mengedukasi mereka dengan cara yang makruf.
Kesadaran politik ini sejatinya merupakan sinyal positif bagi cikal bakal
terwujudnya perubahan. Kelompok Gen Z selama ini seringkali dipandang sebagai
generasi stroberi yang lemah, atau disebut juga kaum rebahan, karena hanya berkutat pada aktivitas yang dinilai negatif.
Adalah sebuah terobosan baru jika kini Gen Z mulai mampu berpikir kritis, yakni
ingin menuntut perubahan atas ketidakadilan.
Namun, sayangnya dalam sistem
kapitalis sekuler, kesadaran politik kaum Gen Z justru malah dikriminalisasi,
dengan label anarkisme. Ini adalah bentuk pembungkaman agar generasi muda tidak
kritis terhadap penguasa.
Demokrasi-Kapitalisme hanya memberi
ruang pada suara yang se-ia dan sejalan, sementara untuk suara yang dianggap
akan menggoyang kekuasaannya, maka akan dijegal atau dikriminalisasi.
Dalam sistem Islam, keberadaan
generasi muda begitu diperhatikan oleh negara. Sebab, pemuda adalah tonggak
perubahan, sehingga harus dibangun kesadaran politik pada setiap individu.
Mereka harus diarahkan pada perubahan hakiki menuju penerapan sistem Islam
secara menyeluruh, agar mereka memiliki bekal untuk bangkit memimpin dunia.
Selain itu dalam sistem pemerintahan
Islam (khilafah), setiap individu yang mukalaf memiliki kewajiban melaksanakan
"amar ma’ruf nahi munkar" (dakwah), termasuk mengoreksi penguasa
ketika berbuat zalim. Para pejabat negara tidak diperbolehkan membungkam
suara-suara kritis, namun sebaliknya harus siap menerima kritik dari masyarakat
(umat). Sabda Rasulullah saw., "Jihad yang paling utama (afdhal) adalah
menyatakan kebenaran di depan penguasa (pemimpin) zalim. (H.R. Ath-Thabarani)
Dalam Islam, negara membentuk para
pemuda dengan pendidikan berbasis aqidah Islam, sehingga kesadaran politik
mereka terarah untuk memperjuangkan rida Allah, bukan sekadar luapan emosi
seperti anarkisme. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh,
pembinaan generasi muda menuju kebangkitan hakiki akan terwujud. Negara akan
menjadi kuat dan rakyat pun sejahtera, Islam rahmatan bagi seluruh alam.
Wallahualam bissawwab.
