Oleh Dra. Rahma
Praktisi Pendidikan
Perencanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Presiden Prabowo Subianto pada Januari 2025 kini menghadapi krisis serius. Hingga 26 September 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 5.626 kasus keracunan, sementara menurut CISDI jumlah korban mencapai 7.368 orang. Insiden terparah terjadi di Cipongkor, Bandung Barat, pada 24 September, ketika lebih dari 1.000 siswa mengalami mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi makanan MBG. Sekolah terpaksa di tutup sementara dan ratusan siswa dirawat di rumah sakit.
Investigasi Kementerian Kesehatan dan BPOM terhadap makanan yang beracun mengungkap adanya kontaminasi bakteri E coli dan Salmonella dari bahan tidak layak, termasuk sayuran terkontaminasi pestisida dan protein kedaluwarsa. Kualitas makanan yang rendah hingga rantai pasok yang tidak efisien membuat makanan tidak layak dikonsumsi oleh siswa. Sementara itu, keterbatasan SDM terlatih dalam higienitas pangan memperburuk keadaan. Data Kemenkes menunjukkan, dari 8.583 dapur MBG, hanya 34 yang memiliki sertifikat higienis. BGN mengakui, sekira 80 persen kasus keracunan disebabkan ketidakpatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP), mulai dari penyimpanan bahan makanan yang buruk hingga rendahnya standar kebersihan dapur katering.
Padahal, anggaran program ini sangat besar Rp71 triliun pada 2025, meski baru terserap Rp13 triliun hingga September. Tahun depan, anggaran itu akan melonjak menjadi Rp335 triliun, atau sekitar Rp1,2 triliun per hari. Seperti proyek pemerintah lain, dana jumbo ini justru menjadi magnet bagi pemburu rente.
Sejak awal, berbagai pihak menilai desain proyek ini tidak matang. Akibatnya, berbagai masalah bermunculan, termasuk kuatnya aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Transparency International Indonesia menyoroti lima masalah utama: Pertama, hingga pertengahan 2025, program masih berjalan tanpa Peraturan Presiden, hanya berlandaskan petunjuk teknis internal yang lemah dan tidak jelas dalam koordinasi lintas sektor. Kedua, terjadi konflik kepentingan dalam penunjukan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tanpa mekanisme verifikasi terbuka. Beberapa yayasan pengelola memiliki afiliasi dengan aktor politik, militer, kepolisian, maupun kelompok berpengaruh tertentu.
Ketiga, Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) rawan manipulasi karena minim transparansi. Banyak aktivitas dilakukan tanpa dokumentasi terbuka atau sistem pengawasan berbasis data. Keempat, lemah nya pengawasan membuka ruang praktik mark-up harga dan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah yang berujung pada keracunan. Kelima, program yang menargetkan 82,9 juta penerima tanpa skala prioritas berisiko membebani anggaran, bahkan diperkirakan dapat menimbulkan kerugian negara hingga Rp1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.
Program ini sejak awal dikritik karena perencanaan terburu-buru tanpa studi kelayakan mendalam. Dari sisi ekonomi, manfaatnya dinilai tidak sebanding dengan anggaran yang digelontorkan. Ironisnya, pengadaan wadah atau ompreng (food tray) justru diimpor dari Cina. Padahal, para produsen lokal telah menegaskan kemampuan mereka memenuhi kebutuhan tersebut. Lebih parah lagi, belakangan terungkap bahwa sebagian produk impor itu mengandung minyak babi. Hal ini menegaskan lemahnya pengawasan pemerintah atas standar halal dan keamanan pangan serta keberpihakan pada ekonomi lokal.
Lebih jauh, desain SPPG diarahkan kepada perusahaan menengah-besar yang umumnya berasal dari luar daerah dan tidak mengutamakan produk lokal. Akibatnya, UMKM yang sebelumnya menjadi tulang punggung penyedia makanan sekolah tersisih, digantikan oleh pemain bermodal besar, tapi minim pengalaman. Alih-alih mendorong ekonomi lokal, kebijakan ini justru memperbesar kesenjangan ekonomi dan lebih menguntungkan keuntungan kelompok pemodal yang dekat dengan kekuasaan.
