![]() |
Oleh : Rola Rias Kania , S.Pd (Tenaga pengajar) |
Pendidikan menjadi tulang punggung bagi kualitas suatu bangsa, menjamin mutu dan meletakkan fondasi kokoh untuk masa depan. Negara wajib bertanggung jawab menciptakan sistem pendidikan yang unggul, menyediakan layanan, fasilitas, serta sarana-prasarana berkualitas tinggi, demi membentuk karakter mulia. Dengan amanah suci ini untuk generasi, akankah cita syar’i itu hanya bergema dibalik tembok ketimpangan dalam sistem kehidupan yang diterapkan saat ini?
Ketimpangan ekonomi merampas hak pendidikan jutaan anakIndonesia. Data dari Tirto.id(19/5/2025) menunjukkan lebih dari 2,4 juta anak putus sekolah akibat kemiskinan, menjadikan pendidikan sebagai komoditas mahal yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang. Pemerintah mencoba menambal masalah ini dengan dana BOS dan KIP, tetapi program ini hanya menjadi bantalan ekonomi keluarga, bukan solusi. Akar kemiskinan dan ketimpangan pendidikan tetap utuh, menanti kebijakan yang lebih berani dan mendasar. Alih-alih menyelesaikan akar masalah, pemerintah justru meluncurkan kebijakan baru yang memperdalam jurang ketimpangan.
Solusi baru hadir demi menutupi kegagalan intervensi sebelumnya. Dengan mengusung Sekolah Rakyat untuk anak orang miskin (kurang mampu) dan Sekolah Garuda Unggul untuk anak orang kaya (mampu)(detik.com/25/05/2025). Terusungnya rencana ini juga sebagai jalan tengah yang bersifat akomodatif dalam pemerintahan saat ini yang dipegang oleh Prabowo. Program yang akan dinarasikan sebagai pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jelas kebijakan ini merupakan bagian dari program populis yang lagi-lagi tidak menyelesaikan akar masalah, hanya sebagai tambal sulam dalam sistem yang diemban yakni sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme memberikan solusi yang memungkinkan hadirnya masalah baru. Perbedaan pelayanan menciptakan sekolah berkasta, memperlebar jurang sosial. Kelas-kelas sosial akan mempertebal perbedaan antara warga yang mampu dan yang tidak mampu. Ini juga akan memungkinkan terjadinya segrasi sosial yang makin kental di tengah masyarakat. Perbedaan terhadap kemampuan ekonomi, juga akan mempengaruhi kualitas pendidikan yang dirasakan. Sistem pendidikan berbayar dan gratis menciptakan kesenjangan tajam dalam kualitas layanan, fasilitas, dan sarana prasarana, memperkuat ketimpangan akses pendidikan.
Menilik bagaimana output dari sistem yang tidak menggunakan standarisasi Islam sebagai kurikulum. Generasi yang lahir jauh dari syaksiyah Islam, tak heran karena berakhlak mulia atas dasar Islam bukan menjadi standar. Dengan penerapan aturan yang mengutamakan keuntungan juga tak ayal jika para pendidik tidak dihargai secara layak. Mengharapkan pangaturan kehidupan dari aturan yang dibuat oleh makhluk yang lemah, terbatas dan kurang tentu akan menghasilkan aturan yang cacat. Allah SWT sebagai sang khaliq telah memberikan pengaturan yang komprehensif, itulah sistem kehidupan Islam.
Dalam Islam pendidikan adalah hak dasar anak bahkan hak-hak syar’i warga negara sebagaimana kesehatan dan keamanan. Sebagai penjaga amanat umat, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar ini tanpa terkecuali, dengan mengelola Baitul Mal yakni dari pos fai dan kharaj serta pos malkiyyah’amah (kepemilikan umum) sebagai sumber pembiayaan yang adil dan merata. Tak ada ruang bagi diskriminasi akses pendidikan antara anak orang miskin dan kaya, antara mereka yang tinggal dipusat kota dan di pelosok terpencil. Islam akan menolak tegas segala bentuk ketimpangan yang mencuri masa depan generasi untuk berpendidikan.
Pendidikan dalam Islam bukan alat untuk menambal celah ekonomi negara, melainkan pilar kokoh yang ditopang oleh sistem ekonomi Islam sebagai suprastruktural. Pendidikan atas dasar hak syar’i setiap warga negara ini, akan dirancang melahirkan generasi pelopor peradaban, berpikiran tajam, berjiwa mulia dan berwawasan global. Output yang diharapkan adalah insan bersyaksiyah Islam yang menguasai ilmu terapan, siap mengemban misi dakwah dan jihad intelektual, serta mengukir peradaban yang agung di kancah dunia. Generasi ini akan mampu menjadikan peradaban Islam sebagai mercusuar, kiblat umat manusia yang menerangi jalan menuju kejayaan. Dari rahim pendidikan ini lahir para generasi pejuang yang tak hanya menjaga , tetapi juga membangun peradaban mulia.
Dengan pendanaan yang tepat, pendidikan akan diberikan akses gratis dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Tanpa membedakan baik kaya atau miskiin, berprestasi atau tidak berprestasi. Semua akan mendapatkan layanan yang berkualitas dan gratis. Gaji yang diberikan untuk para pendidikan akan dialokasikan juga dari pos kepemilikan negara Baitul Maal. Sumber pendanaan yang kokoh dan stabil akan mampu menunjang indepedensi pendidikan agar sesuai syariat Islam. Sejarah telah menorehkan saat Islam dijadikan sumber dalam sistem pendidikan telah banyak melahirkan ilmuan-ilmuan, para pemikir, para ulama dan politikus. Seperti pada masa Abbasiyah, Universitas Al-Qarawiyyin melahirkan ilmuan seperti Al-Khawarizmi, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Inilah sejatinya sitem pendidikan yang dibutuhkan oleh umat.
Penggambaran bagaimana kualitas pendidikan saat Islam dijadikan sebagai sandaran hanya akan terealisasi dalam sistem kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai rujukan. Kita dapat mewujudkan pendidikan yang adil, merata dan bermartabat. Mari kita songsong masa depan di mana setiap anak dapat menggenggam mimpinya tanpa hambatan, demi lahirnya peradaban mulia yang menggetarkan dunia. Wallahualam bissawab.