![]() |
Oleh: Neneng Sriwidianti Pengasuh Majelis Taklim |
“Ijo royo-royo” kini hanya tinggal slogan tanpa makna. Negeri yang konon subur makmur justru membuat rakyatnya kelaparan. Harga beras terus meroket, tetapi negara seakan kehilangan kendali. Pemerintah sibuk membanggakan pertumbuhan ekonomi, sementara dapur rakyat nyaris tak lagi mengepul. Di negeri agraris, ironi terbesar adalah petani tak sejahtera, rakyat sulit makan, dan beras—hasil bumi sendiri—tak mampu dibeli tanpa jerit dan air mata.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Lilik Sutiarso, mengungkapkan bahwa kenaikan harga beras sangat tidak masuk akal mengingat tahun ini produksi beras nasional dalam kondisi memuaskan. Stok cadangan beras pemerintah atau CBP tahun ini adalah yang tertinggi sepanjang sejarah. Prof. Lilik juga mengapresiasi langkah cepat Satgas Pangan Mabes Polri yang turun langsung melakukan pengecekan anomali distribusi beras SPHP di sejumlah pasar induk besar seperti Cipinang, Jakarta Timur. Menurutnya, anomali semisal ini tidak boleh dibiarkan karena merugikan masyarakat dan juga para petani. Masih menurutnya, anomali harga beras yang naik di saat stok beras melimpah—mencapai 4,2 juta ton—memerlukan langkah-langkah validasi di lapangan. (Beritasatu.com, 19/6/2025)
Namun, yang menyakitkan, saat pemerintah mengklaim stok beras melimpah, kenyataannya justru 130 kota dan kabupaten mengalami kenaikan harga pada pekan kedua Juni. Harga beras melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi), dan ini membuat rakyat semakin menjerit di tengah kebutuhan ekonomi yang juga semakin berat.
Kapitalisme Tidak Pro Rakyat
Kebijakan yang mewajibkan Bulog menyerap gabah petani dalam jumlah besar justru menciptakan penumpukan stok di gudang. Akibatnya, suplai beras ke pasar terganggu dan harga menjadi naik. Ada yang tidak beres dalam sistem pengelolaan pangan kita. Di balik krisis ini, tersembunyi wajah asli kapitalisme yang tidak pro rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite. Dalam kapitalisme, pangan bukan hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan, bukan demi pemenuhan kebutuhan rakyat.
Negara dalam sistem kapitalisme bertindak sebagai regulator, bukan pelindung atau penjamin distribusi yang adil. Alur distribusi dikuasai segelintir korporasi, dan kebijakan negara lebih berpihak pada pasar ketimbang perut rakyat. Rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga.
Mekanisme Islam dalam Menjamin Kebutuhan Pokok
Islam memandang pangan, termasuk beras, sebagai kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara. Dalam sistem Islam, negara tidak menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar, apalagi kepada kepentingan para pemilik modal. Negara hadir sebagai pelayan rakyat, memastikan setiap keluarga memiliki akses terhadap kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau, bahkan gratis jika mereka tak mampu.
Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan cadangan pangan secara langsung, tanpa menjadikannya komoditas dagang. Khilafah akan memberi subsidi bibit, pupuk, maupun memberikan penyemprotan kepada petani secara cuma-cuma untuk menjamin kualitas beras yang dihasilkan.
Khilafah juga akan melarang penimbunan dan memastikan distribusi merata, sehingga harga menjadi stabil dan rakyat terjamin. Seorang khalifah juga akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar alami, bukan dengan mematok harga secara paksa.
Begitulah, Islam sebagai sebuah ideologi memecahkan problematika rakyat dengan pemecahan yang memuaskan akal, sesuai fitrah, dan menenangkan jiwa.
Seharusnya, para penguasa saat ini mengambil pelajaran dari masa lalu ketika hukum Islam diterapkan secara kafah. Sejarah mencatat betapa kepemimpinan Islam benar-benar mengutamakan kesejahteraan rakyat. Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tak ditemukan lagi rakyat yang layak menerima zakat karena kemiskinan nyaris lenyap. Dalam situasi kelaparan di masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau menolak makan daging dan makanan enak hingga seluruh rakyat bisa makan kenyang. Ini bukan retorika, tapi teladan nyata bagaimana penguasa bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyat.
Sejarawan Barat, Will Durant, dalam bukunya The Story of Civilization menulis bahwa rakyat di bawah kekuasaan Islam “menikmati kesejahteraan yang tak dikenal oleh rakyat Eropa pada masa itu.” Ia bahkan menyebut pemerintahan Islam sebagai salah satu pemerintahan yang paling adil dalam sejarah umat manusia.
Artinya, Islam bukan hanya agama, tapi sistem kehidupan yang pernah membawa keadilan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.
Maka, ketika kapitalisme terus mempertontonkan kegagalannya, sudah semestinya umat Islam kembali menengok warisan peradabannya sendiri. Sebuah sistem yang tidak hanya menjanjikan, tetapi telah terbukti mewujudkan kesejahteraan nyata sepanjang diterapkannya hampir 14 abad. Apalagi yang ditunggu? Saatnya umat bahu-membahu berjuang untuk segera menegakkan kembali Daulah Khilafah Islamiyah yang menerapkan hukum Islam secara kafah.
Wallahu a’lam bishshawab