![]() |
Oleh: Gilang Alfarizi | Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas |
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sejarah serta budaya nya. Interaksi antar masyarakat melahirkan sebuah kebiasaan yang ketika disepakati serta diwariskan secara turun-temurun bertransformasi menjadi hukum adat. Snouck Hurgronje adalah orang yang mempelopori istilah ini untuk pertama kalinya melalui sebuah buku karangannya yang berjudul De Atjehnese, Dalam bukunya tersebut kata Adatrecht digunakan untuk memperkenalkan sekaligus menggambarkan perkembangan hukum adat.
Pengukuhan secara yuridis dilakukan oleh Van Vollenhoven lewat bukunya yang berjudul Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië disana beliau menegaskan bahwa hukum adat harus ditempatkan sejajar dengan ilmu hukum lainnya sembari beliau memberikan pengertiannya mengenai hukum adat tersebut, tak hanya itu beliau juga membagi pemberlakuan wilayah hukum adat yang dikenal dengan konsep 19 lingkaran hukum adat dan Minangkabau termasuk ke dalam salah satu lingkaran tersebut.
Dalam usaha untuk menjaga ketentraman wilayah adat, maka hukum adat juga merumuskan sebuah norma mengenai hal apa saja yang tidak boleh untuk dilakukan hal ini akrab dikenal sebagai delik adat yang apabila dilakukan maka menimbulkan suatu reaksi adat (adatreactie) berupa sanksi adat. Tujuan dari sanksi adat itu sendiri jika kita mengacu kepada disertasinya Lesquillier yang berjudul “ het adat delectenrecht in de magische werel de beschouwing” Adalah untuk menetralisir suatu keadaan sial akibat pelanggaran delik adat yang dilakukan agar ketentraman di wilayah adat tetap terjaga.
Uniknya perkembangan hukum adat pada beberapa wilayah yang telah berjalan secara sistematis secara turun temurun membuat negara mulai mengakui keberadaan hukum adat secara konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kemudian pengakuan terbaru terhadap hukum adat lahir lewat Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Pengakuan ini merupakan sikap sadar yang ditunjukkan oleh negara (pemerintah) atas krusialnya peran hukum adat di beberapa wilayah sekaligus sebagai bentuk manifestasi dari konsep dualitas progresif yang digagas oleh Van Vollenhoven.
Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang memberikan peran sentral kepada hukum adat dengan filosofi adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah sebagai landasan gerak masyarakat minang yang kemudian dimanifestasikan ke dalam berbagai peraturan adatnya. Hubungan antar individu atau kelompok, lembaga adat, delik adat, dan sanksi adat semua itu diatur dalam hukum adat dengan berlandaskan ABS-SBK. Validasi akan pernyataan ini bisa kita lihat dalam konsep 19 lingkaran adat yang digagas oleh Van Vollenhoven dengan menempatkan Minangkabau (Sumatera Barat) ke salah satu kategori dalam konsepnya tersebut, dan juga validasi dari Negara juga diberikan melalui UU No 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat.
Meskipun Hukum adat telah diakui oleh negara namun dalam pelaksanaannya sering menimbulkan dinamika dengan hukum positif yang ada di Indonesia hal ini disebabkan karna minimnya kepastian hukum dalam hukum adat itu sendiri yang berpotensi menjadi penyalahgunaan (tameng) bagi oknum yang tak bertanggung jawab. Kekhawatiran tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang nyata dimana sekelompok pemuda yang identik disebut sebagai “akamsi” seolah mengambil peran sebagai “polisi moral” dadakan dengan menghakimi beberapa mahasiswa telah melakukan perbuatan zina, dalih zina (delik adat) ini digunakan oleh oknum untuk melancarkan aksi pemerasan kepada target yang telah dituju uang yang diminta kepada korban bervariatif jumlahnya tergantung kesanggupan si korban. Atas aksinya yang telah meresahkan individu tertentu maka polisi mengambil langkah cepat dengan menangkap pelaku, penangkapan pelaku dilakukan oleh personel Polsek Pauh pada hari Kamis (15/5/2025) sekitar pukul 08.00 WIB di Bandar Buat. Dari fenomena “penghakiman jalanan” ini kita jadi mengetahui bahwa motif ekonomi selalu menjadi landasan bagi oknum dalam melancarakan aksinya.
Dari kacamata hukum, pengaturan mengenai zina sebenarnya sudah diatur dalam Perda Kota Padang No 1 Tahun 2025 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum tepatnya pada Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) kemudian sanksi pidana terkait zina diatur dalam Pasal 63 ayat (1), (2), dan (3), selain itu peran serta masyarakat juga diatur pada Pasal 49 Perda ini, Namun Perda ini masih menyisakan persoalan terkait bagaimana mekanisme penyelesaian zina secara kekeluargaan dan secara adat. Persoalan lainnya adalah frasa “kearifan lokal” yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b dalam Perda ini sering dijadikan celah bagi oknum dalam melancarkan aksinya.
Mengingat bahwa KUHP Nasional yakni UU No 1 Tahun 2023 telah mengakui keberadaan living law sekaligus mekanisme pemenuhan kewajiban adat setempat sebagai bentuk pidana tambahan yang harus dimuat ketentuannya dalam bentuk Peraturan Daerah seperti yang diamanatkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP. Maka Pemerintah Daerah harus gerak cepat membentuk sebuah Perda yang mengatur mengenai zina, mekanisme penyelesaiannya secara adat yang bernuansa kekeluargaan, serta sanksi adatnya secara rigid dan konkrit agar tidak ada lagi fenomena penyalahgunaan dalih zina oleh “oknum”. Selain itu Perda ini nantinya bisa dijadikan sebagai pertimbangan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) apakah kasus ini bisa diselesaikan secara adat atau jalur litigasi, fungsi lainnya agar bisa digunakan sebagai dasar acuan sanksi adat seperti apa yang bisa diberikan oleh APH, serta bisa menjadi perlindungan hukum bagi korban dari proses penyelesaian yang bersifat menghakimi yang biasanya dilakukan oleh para “oknum”. Harapannya dengan solusi ini semoga fenomena ini bisa sedikit diminimalisir.