![]() |
Oleh: Nadiya Dwi Puspita Penggiat Literasi |
Opini | Sebanyak 8.206 Ijazah siswa di Kabupaten Bandung tertahan akibat kendala biaya. Mengetahui hal tersebut Bupati bandung, yaitu Dadang Supriatna membantu salah satu siswa bernama Isman untuk menebus ijazahnya agar dapat bekerja. “Sebelumnya saya sudah lolos interview untuk bekerja di Indomaret, tapi tidak bisa lanjut karena tidak punya ijazah,” kata Isman kepada Dadang (Jumat, 21 Maret 2025).
Situasi tersebut menyebabkan ribuan alumni sekolah swasta sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau melanjutkan pendidikan. Pasalnya, untuk bekerja harus memiliki ijazah minimal SMA. Upaya pembebasan tersebut dilakukan Pemkab Bandung melalui kolaborasi dengan Forum Silaturahmi Pendiri dan Pengelola Sekolah Swasta (FSP2SS) Kabupaten Bandung. Saat ini, sebanyak 8.206 ijazah telah berhasil ditebus (www.inilahkoran.id)
Pemerintah memberikan pendidikan gratis dari jenjang SD – SMP untuk rakyatnya, seharusnya jaminan pendidikan tersebut diberikan untuk semua jenjang tanpa terkecuali. Karena pendidikan adalah kebutuhan pokok rakyat, yakni pada jenjang pendidikan dasar, menengah, sampai dengan perguruan tinggi.
Fakta yang ada saat ini ini tata kelola pendidikan bersifat komersil diakibatkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pandangan tentang ilmu dan pendidikan. Dalam sistem saat ini, pendidikan dipandang sebagai komoditas. Dimana, ilmu tak lagi untuk mencerdaskan namun menjadi opportunity bisnis.
Kedua, standar mutu pendidikan yang penuh ilusi. Dalam sistem saat ini mutu pendidikan dasar menengah mengacu kepada pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dimotori oleh negara-negara The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Standardisasi ini terimplementasi pada adanya aturan zonasi yang salah satu tujuannya adalah terjadinya pemerataan kualitas pendidikan. Tetapi, alih-alih melahirkan pemerataan kualitas, yang terjadi justru ketakadilan. Banyak anak yang terlempar dari sekolah negeri dan harus bersekolah di swasta yang mana membutuhkan biaya yang mahal dan kualitasnya belum tentu baik.
Ketiga, politik kekuasaan reinventing government atau good governance. Peran negara menjadi mandul, bertindak sebagai regulator atau fasilitator saja.
Keempat, integrasi dengan sistem ekonomi saat ini menjauhkan dari kesejahteraan. Minimnya anggaran negara untuk membiayai pendidikan secara gratis.
Kelima, otonomi daerah. Prinsip desentralisasi keuangan (melalui APBD) dalam tata kelola pendidikan seharusnya mempunyai peran andil di dalamnya. Pemerintah pusat dan daerah tidak saling bersinergi, sehingga pembangunan sekolah tak merata tentunya mengakibatkan adanya ketimpangan kualitas.
Pandangan Islam Terhadap Pendidikan
Dalam Islam, biaya pendidikan untuk seluruh tingkatan dari SD hingga Perguruan Tinggi sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik penggajian guru, dosen maupun infrastruktur pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Islam memiliki pandangan yg berbeda dg kapitalisme tentang ilmu dan pendidikan. Terkait hal ini, Nabi Saw. bersabda dari Abu Musa, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. ….”(HR Bukhari).
Dalam pandangan Islam, ilmu adalah nyawa peradaban—seperti air bagi kehidupan. Pendidikan bukan soal untung rugi, tapi kebutuhan esensial yang tak ternilai. Karena itu, negara wajib menyediakannya secara total, tanpa hitung-hitungan biaya.
Kedua, fungsi negara. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara (Khilafah) berkewajiban menjamin hak pendidikan sejak usia SD hingga pendidikan tinggi. Jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat atas negara. Dengan begitu pelayanan dapat dirasakan oleh seluruh individu tanpa terkecuali. Ketika pendidikan dikelola dengan konsep Islam, maka semua akan mengenyam pendidikan tanpa memikirkan beratnya biaya sehingga berakibat putus sekolah atau tidak bisa mendapatkan Ijazah. Wallahu a’lam bish-shawwab.