![]() |
Pendidik Generasi dan Aktivis Dakwah |
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK masih menghantui Indonesia hingga saat ini. Tak hanya berdampak pada perusahaan skala kecil dan menengah, tapi hal ini pun terjadi pada perusahaan berskala raksasa. Salah satu perusahaan tekstill terbesar se Asia Tenggara, PT. Sritex dihantam oleh gelombang PHK. Sejak tanggal 1 Maret 2025 Pabrik Sritex resmi tutup setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Hal ini membuat 10.000 pekerja PT. Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menjadi korban PHK.
Padahal, sebelumnya pemerintah melalui Wamenaker Immanuel Ebenezer saat itu memberikan penjelasan ke publik bahwa buruh PT. Sritex tidak akan diPHK dan pemerintah berkomitmen melakukan langkah-langkah penyelamatan. (economy.okezone.com/ Minggu, 02 Maret 2025)
Namun nyatanya harapan itu telah pupus, para buruh harus menelan pil pahit terjadinya PHK massal. Dan yang paling menyedihkan adalah kondisi ini terjadi diawal bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, dimana biasanya kebutuhan hidup naik berkali lipat.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno mengatakan, tim kurator akan mengurus urusan pesangon karyawan dan jaminan hari tua menjadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, menurut Sumarno, Disperinaker Sukoharjo juga sudah menyiapkan sekitar delapan ribuan lowongan pekerjaan baru di perusahaan lain yang ada di Kabupaten Sukoharjo.
Angin segar dihembuskan kembali dengan munculnya kabar bahwa PT. Sritex bersiap untuk beroperasi kembali dengan investor baru yang akan mengambil alih aset. Tim Kurator Sritex, Nurman Sadikin mengatakan bahwa perusahaan tersebut bakal kembali beroperasi dalam dua pekan kedepan.
Benarkah kabar ini akan terealisasi ?, atau harapan ini akan kembali menguap sebagaimana pernyataan Wamenaker yang menyatakan bahwa buruh PT. Sritex tidak akan di PHK namun kenyataannya berbeda.
Selain Pt.Sritex, badai PHK pun menghantam 2 pabrik lainnya ditangerang yang harus merumahkan 3.500 karyawannya.
Ibarat pohon besar yang akarnya sudah menghujam jauh kedalam tanah, dengan batang pohon utama yang sangat besar dan menjulang tinggi, ranting-ranting yang menjulur ke segala arah disertai dengan daun-daun rimbun. Dimana pohon tersebut memberikan manfaat yang sangat banyak bagi berbagai jenis makhluk hidup yang hidup di sekitarnya.
Namun kini pohon besar itu dipaksa untuk mati digantikan dengan sesuatu yang baru oleh mereka yang memiliki kepentingan. Dan kini makhluk hidup yang bergantung pada pohon tersebut menjadi kehilangan tempat tinggalnya bahkan tidak sedikit yang harus ikut mati juga.
Begitu pun dengan Sritex, sebuah perusahaan tekstil terbesar se Asia Tenggara, yang dianggap paling kuat dari PHK. Namun pada kenyataannya harus melakukan PHK massal. Sebuah tempat bergantung ribuan buruh kini tiada lagi. Mereka harus menghadapi beban yang sangat berat, sebab mencari lapangan pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah, terlebih lagi saat ini dimana PHK massal terjadi dimana-mana.
PHK massal ini merupakan salah satu dampak sosial dari kebijakan pemerintah. Semenjak ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) ditandatangani pada tanggal 12 November 2017, dimana kesepakatan ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif ataupun nontariff,peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerja sama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Asean dan China. Kesepakatan ini membuat negara harus tunduk pada kepentingan asing.
Kebijakan ini didukung dengan terbitnya UU Cipta Kerja yang kemudian berganti nama menjadi Perppu Cipta Kerja 2020 yang membuat Indonesia dibanjiri barang-barang impor. Ekspor dan impor barang dilakukan secara ugal-ugalan. Hasilnya produk dari negara ASEAN terutama China membanjiri Indonesia. Jumlahnya yang sangat banyak, mudah didapat dan harganya yang sangat murah, membuat barang dari China lebih digemari meskipun dengan kualitas yang rendah.
Selain itu, ekspor yang dilakukan ke negara ASEAN terutama China membuat kelangkaan bahan baku di dalam negeri, membuat harga bahan baku menjadi naik yang berimbas pada ongkos produksi dan harga jual yang ikut naik, sehingga tidak bisa bersaing dengan barang asal China yang jauh lebih murah. Lambat laun terjadi penurunan produksi, hingga pada titik tidak dapat lagi berproduksi dan akhirnya PHK massal tak terelakkan.
Kondisi ini sejalan dengan penyataan dari Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Drop Suahasil Nazara yang menilai perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan China (ACFTA) merupakan peluang perdaganganyang penuh ancaman.
Ancanam tersebut dapat berupa hilangnya lapangan pekerjaan formal karena tutupnya perusahaan manufaktur akibat produknya kalah bersaing dengan produk China.
Dan inilah yang terjadi sekarang. Badai PHK terus menghantam tiada henti semenjak tahun 2019. Ditunjukkan dengan data dari Kementerian Ketenagakerjaan yang menginfokan bahwa jumlah PHK setiap tahunnya memiliki nilai yan fantastis dimulai dari 2019 sebanyak 45.000 pekerja, 2020 (hingga Juli) sebanyak 3.600.000 pekerja, 2021 (hingga Agustus) 538.305 pekerja, 2022 sebanyak 25.114 pekerja, 2023 (hingga Juli) 26.400 pekerja. 2024 sebanyak 80.000 pekerja dan di tahun 2025 diprediksi sebanyak 280.000 pekerja akan terkena PHK.
Ini semua tidak lain akibat dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Ekonomi kapitalisme berpotensi meningkatkan kesenjangan, mendorong eksploitasi, dan mengabaikan nilai-nilai sosial, dengan fokus utama pada keuntungan dan persaingan bebas.
Kondisi ini diperparah dengan negara yang memiliki watak populis otoriter, dimana negara hanya menjalankan peran sebagai regulator untuk memenuhi kepentingan oligarki. Sebagai regulator negara tidak memiliki intervensi langsung terhadap kestabilan perekonomian dalam negeri. Yang ada hanya intervensi tidak langsung dengan menggunakan instrument peraturan dan kebijakan.
Sayangnya, peraturan dan kebijakan yang lahir dari penguasa saat ini adalah sesuatu yang hanya menguntungkan kedua belah pihak, yaitu penguasa dan pengusaha. Sebagaimana salah satu dari fokus utama ekonomi kapitalisme yaitu keuntungan.
Meskipun Sritex telah dijanjikan akan selamat apabila saat pemilu memilih calon tertentu. Namun pada kenyataan gempuran barang impor hasil dari persaingan bebas ACFTA tidak mampu menyelamatkan Sritex. Akhirnya, liberalisasi menyebabkan lapangan pekerjaan dikontrol oleh industri.
Kebebasan ekonomi tanpa campur tangan negara akan melahirkan monopoli, eksploitasi dan ketidakmerataan distribusi kekayaan yang pada akhirnya menghasilkan konflik dan perjuangan kelas.
Beginilah kejamnya kapitalisme. Karena, saking bebasnya yang besar pun tumbang, yang kecil tak punya peluang. Kapitalisme itu kejam, karena tanpa adanya intervensi negara, kebebasan yang ada menjadi bablas. Maka kesenjangan dan konflik sebuah keniscayaan yang nyata.
Namun sebaliknya, ketika Islam diterapkan dalam sebuah negara. Islam yang bukan hanya sebagai sebuah agama semata namun juga sebuah ideologi yang memancarkan aturan dari dalamnya. Ia memiliki prinsip-prinsip dasar ekonomi yang khas. Prinsip-prinsip dasar tersebut dijalankan atas azas kepemilikan, pemanfaatan pemilikan, dan konsep distribusi.
Dalam hal kepemilikan, Islam membaginya menjadi tiga, yaitu kepemilikan negara, umum dan individu. Dengan kejelasan status ke
Dengan konsep pemilikan yang jelas ini juga, maka pemanfaatannya pun akan jelas. Sehingga konsep ini akan menghilangkan konflik, kesenjangan sosial dan perjuangan kelas. Sebab semua rakyat mendapatkan hak yang sama, baik ia dari golongan yang kaya atau miskin. Konsep ini jugalah yang akhirnya akan mampu untuk menciptakan kondisi rakyat yang sejahtera. Karena kebutuhan primer (basic needs) rakyat terpenuhi dengan baik oleh negara. Dengan keberadaannya yang gratis atau murah dan mudah dijangkau serta tanpa prosedur yang berbelit.
Hal ini dapat terjadi disebabkan negara hadir untuk mengelola kepemilikan umum secara langsung demi kemashlahatan rakyat, bukan sebagai regulator seperti dalam sistem kapitalisme.
Berawal dari konsep kepemilikan yang jelas ini pulalah akan melahirkan konsep pendistribusian yang menciptakan keseimbangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat. Karena keseimbangan akan terjadi manakala sirkulasi terjadi pada semua anggota masyarakat, bukan hanya pada segelintir orang. Dan ini hanya ada dalam sistem ekonomi Islam.
Selain itu Islam mewajibkan untuk membantu yang lemah dan kekurangan serta mencukupi kebutuhan orang yang membutuhkan. Islam juga mewajibkan kepada manusia, dimana dalam harta orang kaya terdapat hak bagi para fakir miskin. Konsep inilah yang akan menghilangkan proses penimbunan seperti yang terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis, dimana si kaya menimbun barang sebanyak-banyaknya agar terjadi kelangkaan dan kembali dijual dengan harga tinggi demi keuntungan pribadi.
Maka tidak heran jika dalam sistem ekonomi Islam terlahir generasi seperti Abdurahman bin Auf ra, Ustman bin Affan, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, dan yang lainnya, yang terkenal sebagai pengusaha sukses dan terus sukses hingga akhir hayatnya tanpa harus terdzalimi oleh kebijakan penguasa yang serampangan.
Hanya sistem ekonomi Islamlah yang mampu menjamin suasana yang kondusif bagi para pengusaha dan perusahaan untuk selalu langgeng menjalankan usahanya dengan penuh keberkahan. Dengan situasi ini juga akhirnya lapangan pekerjaan akan terbuka luas dan memadai sebab keberlangsungannya berada dalam pengawasan negara langsung tanpa pihak kedua atau ketiga.
Wallahu A’lam Bissawab