Namun hingga kini, tak satu pun jawaban pasti keluar dari Ketua DPRD Provinsi Riau.
Lebih dari itu, kami juga telah melayangkan surat hering resmi pada 4 September 2025, yang disampaikan langsung dan telah diterima di ruangan DPRD.
Isi surat itu jelas dan lugas: memohon digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Ketua DPRD Provinsi Riau, agar kasus ini dibahas secara terbuka dan transparan—memberikan ruang bagi semua pihak untuk menjelaskan penanganan kasus kepada publik dan terutama kepada orang tua almarhum Kristopel Butar Butar, yang hingga kini belum mendapat keadilan dan kepastian hukum.
Namun apa yang terjadi?
Surat resmi rakyat itu justru dibungkam dalam kesunyian birokrasi. Tak ada panggilan, tak ada tanggapan, tak ada itikad baik. Lebih ironis lagi, ketika kami mencoba menanyakan perkembangan surat tersebut, staff ahli Ketua DPRD malah mempertanyakan hal teknis—indeks surat dari bagian umum—seolah rakyatlah yang wajib mengurus administrasi internal lembaga.
Padahal, itulah fungsi dan tugas staf DPRD, bukan beban yang harus ditanggung masyarakat yang hanya ingin mencari keadilan.
Kami melihat ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk ketidakpekaan moral dan pengabaian tanggung jawab publik.
Dalam aksi tersebut, Rabbi Fernanda, salah satu simpatisan yang turut hadir, menyampaikan kritik keras:
“Kami datang bukan untuk berdebat, tapi untuk menagih hati nurani. Jika DPRD sebagai rumah rakyat justru menutup pintunya, lalu ke mana lagi rakyat harus bersandar? Kasus Kristopel Butar Butar bukan sekadar berita, tapi luka bangsa. Diamnya Ketua DPRD adalah bukti bahwa suara rakyat dianggap tak penting di rumahnya sendiri.”
Pernyataan ini menggambarkan kekecewaan yang mendalam terhadap lembaga yang seharusnya menjadi pengawas dan pelindung kepentingan rakyat. Ketua DPRD Provinsi Riau telah gagal menunjukkan kepekaan terhadap kasus kemanusiaan yang menimpa seorang anak bangsa.
Kami menuntut:
1.Ketua DPRD Provinsi Riau segera memberikan jawaban resmi dan terbuka terkait surat hering tertanggal 4 September 2025.
2.Segera melaksanakan RDP terbuka yang melibatkan pihak keluarga korban, lembaga pendidikan, kepolisian, serta organisasi masyarakat sipil untuk membahas secara transparan penanganan kasus Kristopel Butar Butar.
3.Menghentikan praktik birokrasi yang berbelit dan mengembalikan fungsi DPRD sebagai jembatan antara rakyat dan keadilan, bukan tembok penghalang aspirasi.
Karena keadilan tidak boleh ditunda, dan diam di tengah penderitaan adalah bentuk kekerasan baru. "Pungkasnya"