Oleh Afifatur Rahmah
Ibu & Penggiat Literasi
Heboh, temuan Mentan beredar 157 beras Oplosan. Kecurangan dilakukan oleh para tengkulak yang mencampur beras premium dengan kualitas yang biasa. Mereka pun menjual di atas HET. Potensi kerugian konsumen ditaksir sekitar Rp99 triliun.
Miris, lagi-lagi rakyat menjadi korban kecurangan perusahaan besar. Demi ambisi mengumpulkan pundi-pundi uang, segala cara di halalkan dalam sistem Kapitalisme. Ironisnya, Negara tak bertaring menghadapi para oligarki. Alih-alih memberi sanksi berat, Pemerintah justru hanya memberi ultimatum saja.
Inilah keniscayaan dalam sistem kapitalis. Keuntungan materi adalah tujuan utama walaupun menghalalkan segala cara. Lebih-lebih asas sekulerisme yang mereka emban, senantiasa mengkebiri peran agama. Menjadikan syariat Islam hanya sebatas ibadah ritual dalam tataran individu dan masjid. Tanpa perlu diterapkan dalam kehidupan.
Wajar jika mereka tidak takut akan adzab akherat. Menghamba dalam kubangan manfaat dan hawa nafsu duniawi. Padahal jelas mengurangi timbangan dan perbuatan curang di haramkan dalam Islam.
Allah SWT berfirman:
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam takaran dan timbangan), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi." (QS. Al-Muthaffifin: 1-3).
Di sisi lain, lemahnya peran Negara dalam sistem sanksi dan pengawasan semakin memperuncing masalah. Ironisnya, Negara justru menyerahkan pengelolaan hulu ke hilir kepada koorporasi. Bahkan tidak mempunyai barganing power karena pasokan pangan hanya 10% dikuasai Pemerintah. Selebihnya dikendalikan oleh para oligarki.
Paradoks, Penguasa yang harusnya hadir secara totalitas mengurangi kesejahteraan rakyatnya salam segala aspek, terutama ekonomi. Justru menjadi boneka para koorporasi.
Bak kerbau yang dicocok hidungnya, begitulah kondisi para pejabat saat ini yang mengamini semua keinginan oligarki. Baik dalam segi kebijakan atau regulasi. Demi politik balas budi karena telah melanggengkan mereka ke tampuk kekuasaan.
Kontradiksi dengan Islam yang justru mewajibkan para pejabat menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab dan adil. Dengan dilandasi ketakwaan dan takut dengan hisab di akherat kelak.
Rasulullah saw. bersabda:
"...Seorang imam (pemimpin) adalah pemimpin bagi rakyatnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka...” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, sistem Islam akan menindak tegas pelanggaran dalam bentuk apapun baik dilakukan oleh para pengusaha yang curang. Juga pada Penguasa yang menyalahgunakan jabatannya.
Islam pun akan memastikan mekanisme keadilan, kesejahteraan dan keamanan akan berjalan seimbang. Karena tiga pilar penyangga akan senantiasa berjalan dinamis. Diantaranya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran Negara yang powerful dalam keadilan dan Sanki tanpa pandang bulu.
Pemimpin negara (khalifah) pun akan memastikan distribusi pangan dari hulu ke hilir akan merata. Bahkan kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan, keamanan dan kesehatan akan dijamin oleh Negara untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Walhasil, jika sistem Islam diaturkan secara komprehensif dalam segala aspek. Terutama dalam ekonomi dan sanksi maka rakyat tak akan lagi dirugikan. Dan menjadi korban para oligarki. Maka, sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam yang sempurna dan rahmatan Lil alamin. Wa'allualam bisshowab.