![]() |
| Oleh. Tsani Tsabita Farouq |
Baru-baru ini kasus penculikan anak kembali terjadi di Makassar sehingga menambah daftar panjang tragedi yang menimpa anak-anak Indonesia. Balita yang diculik, dugaan keterlibatan sindikat TPPO, serta fakta bahwa pelaku memanfaatkan masyarakat adat sebagai bagian dari modus menunjukkan bahwa kejahatan ini tidak lagi bersifat acak. Ia berlangsung terencana, terstruktur, dan menyasar kelompok paling rentan. Peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi gambaran kegagalan sistemik negara dalam menjamin keamanan anak-anak di ruang publik.
Dikutip dari TRIBUNNEWS.COM, 16/11/2025, Bilqis Ramdhani (4) menjadi korban penculikan di Taman Pakui Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (2/11/2025). Pelaku sempat membawa Bilqis ke Mentawak, Kabupaten Merangin, Jambi. Jarak Desa Mentawak dengan Bangko yang merupakan pusat Kabupaten Merangin sekira 10 km. Pelaku menitipkan Bilqis ke Suku Anak Dalam (SAD) di Kabupaten Merangin, bernama Ngerikai dan Begendang dengan berbagai alasan. Kini korban sudah ditemukan dan pelaku sebanyak 4 orang sudah ditangkap dan ditahan di Mapolrestabes Makassar.
Penculikan yang terjadi di berbagai daerah memperlihatkan pola berulang yaitu lemahnya pengawasan, minimnya sistem peringatan dini, hingga ketidakmampuan aparat untuk memastikan lingkungan yang benar-benar aman bagi warga. Ketika seorang anak bisa diambil begitu saja dari pengawasan keluarga atau masyarakat, itu menunjukkan bahwa ruang publik kita masih jauh dari kata ramah anak. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung utama, justru terlihat berjalan lambat dalam mencegah maupun menindak tegas pelaku kejahatan seperti ini.
Dugaan bahwa pelaku terhubung dengan jaringan perdagangan orang semakin memperparah situasi. Ini menandakan bahwa penculikan bukan sekadar tindakan individu, melainkan bagian dari operasi kriminal yang memanfaatkan celah hukum. Jaringan semacam ini dapat bergerak bebas karena lemahnya penegakan hukum. Vonis yang tidak memberi efek jera, proses hukum yang bertele-tele, hingga pengawasan yang tidak tuntas memberi ruang bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya atau bahkan mengembangkan jaringan ke wilayah lain.
Yang lebih menyedihkan adalah keterlibatan masyarakat adat sebagai pihak yang ikut dimanfaatkan. Mereka dijadikan alat untuk menutupi jejak pelaku melalui manipulasi informasi, tekanan ekonomi, atau kurangnya akses edukasi. Ini menunjukkan bahwa kejahatan kerap menjadikan kelompok miskin, terpencil, dan terpinggirkan sebagai sasaran paling mudah. Pada titik ini terlihat bahwa negara tidak hanya gagal melindungi anak, tetapi juga gagal memperkuat kapasitas masyarakat adat agar tidak menjadi korban eksploitasi pihak luar.
Jika dilihat lebih dalam, masalah-masalah ini berakar pada tiga hal: tiadanya jaminan keamanan bagi anak di ruang publik, lemahnya penegakan hukum terhadap penculikan dan TPPO, serta makin maraknya tindakan kriminal yang menyasar golongan rentan. Anak-anak, masyarakat adat, dan kelompok miskin berada di posisi yang sama tanpa perlindungan yang memadai dari negara. Selama kondisi struktural ini tidak berubah, tragedi akan terus berulang.
Dari perspektif Islam, keamanan jiwa manusia (hifzh an-nafs) adalah salah satu tujuan tertinggi dari maqasid syariah. Islam menempatkan keselamatan anak sebagai prioritas negara. Hal ini bukan sekadar teori, tetapi pernah dipraktikkan secara nyata dalam sejarah. Salah satu contohnya adalah kebijakan Khalifah Umar bin Khattab terkait perlindungan bayi dan ibu menyusui. Ketika mengetahui bahwa pemberian tunjangan negara hanya diberikan setelah anak disapih kebijakan yang membuat sebagian ibu mempercepat penyapihan dan membahayakan bayi Umar segera mengubah peraturan. Ia menetapkan bahwa tunjangan negara diberikan sejak anak lahir, agar tidak ada bayi yang “terbunuh” oleh kebijakan yang tidak adil. Tindakan cepat ini menunjukkan betapa negara dalam sistem Islam sangat responsif terhadap keselamatan anak, bahkan hingga hal sekecil pola menyusui. Perlindungan anak bukan slogan, tetapi kebijakan konkret yang dieksekusi dengan kepekaan dan tanggung jawab moral.
Lebih jauh, dalam sistem Islam, negara tidak sekadar menindak kejahatan setelah terjadi. Negara wajib menghadirkan pencegahan struktural: pendidikan, keamanan publik, penguatan ekonomi keluarga, hingga penegakan hukum yang tegas dan memberi efek jera. Sistem hukum Islam dirancang untuk melindungi nyawa manusia secara maksimal, sehingga pelaku penculikan, eksploitasi, dan kejahatan terhadap anak tidak memiliki ruang gerak.
Tragedi demi tragedi yang menimpa anak-anak kita seharusnya menjadi alarm keras bahwa pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan tidak cukup. Diperlukan keberanian politik untuk menata ulang sistem hukum, memperkuat perlindungan sosial, serta menciptakan lingkungan aman bagi anak dari hulu hingga hilir. Negara harus hadir bukan hanya di ruang konferensi pers, tetapi di setiap ruang publik tempat anak-anak tumbuh.
Pada akhirnya, kualitas sebuah negara tidak diukur dari kemegahan infrastrukturnya, tetapi dari seberapa aman anak-anak dapat hidup di dalamnya. Selama penculikan masih terjadi dengan mudah, kita harus mengakui bahwa negara belum menjalankan tanggung jawabnya. Dan selama itu belum berubah, kasus-kasus seperti ini akan terus menjadi luka yang berulang di tengah masyarakat.
Wallahu’alam bi showwab
