![]() |
| Oleh Nahmawati, S. IP Pegiat Literasi |
Kasus siswa SMP yang terjerat pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) kembali mencuat, mengguncang perhatian publik dan menunjukkan rapuhnya benteng perlindungan negara terhadap generasi muda. Ketika seorang anak di bawah umur dapat dengan mudah mengakses platform berbahaya hanya bermodalkan gawai di tangannya, saat itu pula tampak jelas bahwa negara belum sungguh-sungguh menjaga ruang digital dari ancaman eksploitasi.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti menyatakan bahwa kasus siswa SMP yang terlibat pinjol dan judol merupakan dampak dari kesalahan dalam sistem pendidikan saat ini. Sekolah dinilai gagal membekali siswa dengan literasi digital yang memadai sekaligus tidak mampu membentuk karakter kuat dalam menghadapi godaan teknologi.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan pada Rabu (29/10/2025), Esti menyoroti maraknya kasus pelajar tingkat SMP yang sudah mengenal hingga terjerat praktik judi online dan pinjaman online. Ia menyatakan bahwa fenomena tersebut menunjukkan adanya masalah serius dalam pola pendidikan dan pembinaan generasi muda.
Esti juga menilai bahwa sekolah-sekolah saat ini cenderung masih berfokus pada persiapan ujian akademik. Menurutnya, orientasi tersebut membuat peserta didik kurang dibekali kemampuan menghadapi risiko dunia digital yang dipenuhi algoritme manipulatif serta berbagai bentuk komersialisasi perilaku. (Kompas.com)
Kasus yang mencuat di Kulon Progo, DIY, menjadi contoh nyata. Seorang siswa SMP terjerat judi online hingga harus meminjam uang lewat pinjol. Tekanan utang membuatnya bolos sekolah selama sebulan. Peristiwa ini mengungkap betapa mudahnya platform judi dan pinjaman ilegal menjangkau pelajar dan betapa lemahnya perlindungan negara terhadap anak.
Data berbagai lembaga menunjukkan bahwa persoalan judi online telah menjadi ancaman nyata bagi dunia pendidikan dan penegakan hukum di Indonesia. PPATK pada tahun lalu melaporkan bahwa total perputaran uang dalam aktivitas judi online mencapai sekitar Rp1.200 triliun.
Sementara itu, pada November 2024, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap temuan bahwa sekitar 200 ribu pelajar di bawah usia 19 tahun terindikasi telah terpapar judi online. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 ribu di antaranya bahkan berada pada rentang usia di bawah 10 tahun. (Tirto.id, 29/10/2025).
Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital Indonesia belum aman bagi pelajar. Konten judi online sudah merambah situs pendidikan dan game yang sehari-hari digunakan siswa. Pop-up, iklan terselubung, hingga tautan berbahaya muncul tanpa filter memadai, membuat anak rentan terpapar sejak dini. Ini menandakan adanya kelemahan serius dalam sistem penyaringan dan pengawasan negara terhadap platform digital yang seharusnya ramah anak.
Permasalahan semakin kompleks ketika judi online dan pinjol menciptakan lingkaran setan yang menjerat pelajar. Setelah kalah judi dan kehabisan uang, pelajar mencari pinjol sebagai jalan keluar instan. Akses mudah dan minim verifikasi membuat mereka bisa masuk dalam jeratan utang hanya dalam hitungan menit. Dana pinjaman kemudian digunakan kembali untuk berjudi demi menutup kerugian, tetapi justru memperdalam keterpurukan finansial dan psikologis. Dua layanan digital berbahaya ini berjalan bebas tanpa pengawasan negara yang ketat, membuka ruang eksploitasi besar terhadap pelajar.
Kasus ini juga memperlihatkan lemahnya pengawasan orang tua dan sekolah terhadap aktivitas digital anak. Banyak siswa menggunakan gawai tanpa pendampingan, sehingga tanda-tanda awal keterlibatan mereka dalam judol dan pinjol sering terlambat terdeteksi. Pada saat yang sama, negara gagal menutup secara efektif situs-situs judol, blokir tidak permanen dan mudah ditembus. Situs yang ditutup dapat muncul kembali dalam waktu singkat, menunjukkan bahwa negara hanya menangani gejala, bukan akar persoalan.
Pendidikan karakter dan literasi digital yang digembar-gemborkan pemerintah juga terbukti belum mampu menyelesaikan masalah ini. Keduanya lebih bersifat formalitas kurikulum dan tidak menghasilkan ketahanan moral yang kokoh. Pelajar mengetahui bahaya pinjol-judol secara teori, tetapi tidak memiliki arahan dan fondasi pemikiran untuk menjauhinya.
Akar persoalan yang lebih dalam adalah cara berpikir instan, keinginan cepat kaya tanpa kerja keras. Budaya digital memperkuat pola pikir ini, sementara sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur utama membuat judi online terlihat sebagai jalan pintas yang menggiurkan. Selama cara pandang kapitalistik ini mendominasi, aspek moral dan halal-haram akan terpinggirkan, dan pelajar mudah terseret dalam pola pikir merusak.
Keseluruhan kondisi ini menunjukkan bahwa negara dalam sistem kapitalisme lebih bertindak sebagai regulator pasar, bukan pelindung rakyat. Negara tidak hadir menutup pintu kerusakan secara total, sebaliknya hanya mengelola teknis perizinan dan regulasi. Selama peran negara sebatas pengatur pasar, bukan penjaga moral dan pelindung masyarakat, maka eksploitasi digital melalui judol dan pinjol akan terus berulang dan generasi muda tetap terancam.
Solusi pertama adalah memberikan pemahaman yang kuat kepada pelajar bahwa praktik judi online maupun pinjaman online bukan hanya merusak secara sosial dan ekonomi, tetapi juga haram secara syar’i. Kesadaran tentang keharaman ini menjadi benteng utama agar pelajar mampu menolak godaan keuntungan instan yang menyesatkan.
Selanjutnya, penerapan pendidikan Islam berlandaskan akidah Islam menjadi sangat penting. Pendidikan karakter saja tidak cukup untuk membangun arah berpikir yang benar. Pendidikan Islam membentuk pola pikir dan pola sikap berdasarkan standar halal-haram, sekaligus menghadirkan kontrol diri yang kuat dalam menghadapi godaan dunia digital.
Solusi lebih mendasar terletak pada peran negara. Negara harus membangun sistem yang mampu membentuk generasi saleh dan berkepribadian Islam melalui penyelenggaraan sistem pendidikan Islam yang komprehensif. Sistem pendidikan seperti ini tidak hanya menekankan kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk integritas moral dan keteguhan akidah.
Akhirnya, negara wajib mengambil langkah tegas untuk menutup seluruh akses judi online secara permanen serta memberikan sanksi berat bagi para pelakunya. Penutupan tidak boleh reaktif atau bersifat sementara. Negara harus menerapkan pengawasan digital yang kuat demi memastikan ruang digital benar-benar aman bagi pelajar.
Olehnya itu, dibutuhkan perubahan sistemik, bukan sekadar edukasi permukaan untuk menjaga masa depan generasi bangsa. Pendidikan Islam yang berlandaskan akidah, ketegasan negara dalam menutup pintu kerusakan, serta lingkungan digital yang bersih dari praktik merusak merupakan syarat mutlak untuk menyelamatkan pelajar dari jeratan kehancuran moral, ekonomi, dan masa depan. Wallahu alam bisshawab
