(Ayu Septia W_Mahasiswa Kreator Berdampak)
"Dimana ada tambang, disitu ada penderitaan dan kerusakan lingkungan".
Frasa yang seringkali terdengar di telinga dari warga yang mengalami langsung dampak negatif pertambangan, seperti polusi, hilangnya lahan bahkan kerusakan ekosistem.
Bukan hanya alam yang mendapatkan imbasnya, justru menyasar pada kerugian
300 triliun ditambah dengan data jumlah tambang ilegal yang mencapai ribuan. Lebih miris lagi dengan pernyataan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa melakukan penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari 6 smelter ilegal kepada PT Timah Tbk.
Indonesia yang dijuluki Zamrud Khatulistiwa tidak mencerminkan gambaran kekayaan alam Indonesia dari potensi sumber daya mineral dan energi yang dikuasai oleh negara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, faktanya dimaknai bahwa negara memiliki otoritas menjual SDA ke investor, yang akhirnya menimbulkan konglomerasi harta kekayaan dan komersialisasi sektor- sektor strategis. Lagi-lagi rakyat menjadi korban kebijakan pro kapitalis ini.
Fakta jelas yang terjadi di depan mata seolah tertutup kain adalah fenomena swastanisasi tambang, yaitu merampas hak kepemilikan umum dan melanggar Syari'at yang berpotensi mengabaikan kelayakan dasar termasuk kerusakan lingkungan dan kemiskinan warga sekitar.
KPK menyebut masyarakat di lingkungan yang kaya tambang biasanya berada di garis kemiskinan. Menurut KPK, mereka sering menyampaikan keluhan soal dampak lingkungan. Masyarakat di sekitar tambang biasanya berprofesi sebagai petani atau nelayan. Namun dengan adanya tambang yang berdampak pada kualitas lingkungannya sehingga memengaruhi mata pencaharian masyarakat. Mengutip data BPS, soal masyarakat wilayah Morosi, Sulawesi Utara (Sulut) yang merupakan pusat pertambangan dengan kebanyakan masyarakat ekonomi tak mampu.
Mirisnya lagi, Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara melaporkan bahwa pada Maret 2025, jumlah penduduk miskin di provinsi ini adalah 173.840 orang, atau sekitar 6,71% dari total populasi. Ini adalah gambaran kerusakan di salah satu pusat tambang di Indonesia, belum lagi di daerah lain yang menyandang status tersebut.
Swastanisasi tambang muncul tidak dengan sendirinya, ia dirancang oleh sistem yang ditandai dengan negara lepas tangan baik dalam pengelolaan maupun resiko kerusakan lingkungan. Tidak lain dan tidak bukan ialah sistem kapitalisme sekuler.
Jika dilihat dari kacamata Islam, Islam memandang bahwa:
1. Swastanisasi tambang dilarang untuk dilakukan sesuai dalil dan tabbani.
2. Hakikat pengelolaan tambang semata mata untuk kesejahteraan rakyat
3. Menjamin sumber daya alam dikelola sesuai syariat
4. Tambang merupakan kepemilikan umum yang merupakan tanggung jawab Pemimpin sebagai (Ra'in) dalam negara untuk mengelola demi memenuhi kebutuhan rakyat.
Sebagai sistem yang mengatur kehidupan secara universal dan komprehensif, islam dipercaya oleh pemeluknya sebagai ajaran yang mengatur jalannya semua aktivitas manusia, termasuk dalam hal ekonomi. Salah satu bentuk aktivitas yang berkaitan dengan masalah ekonomi adalah persoalan kepemilikan (al-milkiyyah). Islam senantiasa memberikan ruang dan kesempatan kepada manusia untuk mengakses segala sumber kekayaan yang dianugerahkan-Nya di bumi ini, dengan harapan dapat memenuhi semua tuntutan kehidupan, memerangi kemiskinan, dan merealisasikan atau mewujudkan kesejahteraan dalam semua sisi kehidupan manusia.
Makna kepemilikan dalam syariat Islam adalah penguasaan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak terhadap apa yang di miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum Allah.
Oleh karena itulah, Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi (al-fardiyah), masyarakat umum (al-‘jama’iyah) maupun kepemilikan negara (al-daulah), dan menjadikan sebagai dasar bangunan ekonomi. Perlu digarisbawahi bahwa kepemilikan hakiki tetap berada di tangan Allah, sedangkan manusia hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkan dalam bentuk amanah.
Justru itu, Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara, dimana dengan ketiga macam kepemilikan tersebut diberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya masing-masing, dan pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan baik individu, masyarakat dan negara.
Dalam hal ini, tambang dapat diklasifikasikan sebagai kepemilikan umum yang merupakan tanggung jawab negara/pemimpin (Khalifah) sebagai Ra'in(pelayan atau pembantu umat). Tentu, hasil pengelolaannya semata mata ditujukan untuk kemaslahatan umat, bukan kemaslahatan korporat. Kalau tambang kecil boleh dikelola rakyat, tapi semuanya tetap dalam tanggung jawab negara, termasuk pada aspek dampaknya terhadap lingkungan.
Sebagaimana didalam QS. As-Sajdah ayat 24: "Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami."
Pemimpin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah seorang Khalifah yang memimpin suatu negara(Khilafah). Dalam Islam, Negara (Khilafah) mengelola sumber daya alam, energi, tambang, air, transportasi publik — untuk kemakmuran rakyat, bukan investor.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah)
---
Jadi, tanyakan pada diri sendiri, "apakah aku akan stay di sistem kapitalisme sekuler yang rusak atau melakukan perubahan yang lebih baik dengan sistem Islam? dan mengapa harus Islam?"
Jika ingin melihat perubahan dengan Islam, tetapkan jawaban di lubuk hati bahwa Islam akan mengatur jalannya kesejahteraan umat dengan pemimpin yang jujur dan adil.
Islam tuh keren lho, semua bisa dikendalikan melalui aturan-aturan-Nya.
Jadi,,,,
Pagi pagi belajar falsafah
Sembari memandang bunga kejora
Kuy, kita usahakan Islam kaffah
Agar berkah nan sejahtera *wallahu'alam bishawab.*
