![]() |
| Oleh: Fatimah Nafis |
Aksi unjuk rasa buruh dan mahasiswa di depan gedung MPR/DPR RI, Senayan pada akhir Agustus 2025 yang berujung pada kematian tragis pengemudi ojek online kini berbuntut panjang. Pasalnya, kasus tersebut telah mengakibatkan gelombang kemarahan serta kerusuhan di berbagai daerah. Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Syahardiantono, kini telah ditetapkan tersangka pelaku kerusuhan sebanyak 959 orang, yakni 644 orang dewasa dan 295 orang anak. (tempo[dot]com, 24/09/2025)
Menurut para saksi unjuk rasa, para buruh dan mahasiswa itu hanya mengkritisi kebijakan terkait tunjangan yang diberikan negara kepada para anggota parlemen. Di saat rakyat sedang dalam beban kesulitan yang sangat berat, para pejabat justru diberikan tunjangan yang fantastis. Adalah hal yang wajar jika rakyat sudah mulai bangkit kesadaran politiknya. Terutama gen Z, mereka lebih peka dan cepat menyerap informasi di tengah perkembangan teknologi digitalisasi. Sayangnya, kesadaran tersebut direspon sebagai sebuah bentuk tindakan kriminal.
Ketika gen Z menuntut sebuah perubahan, mereka disambut dengan narasi dan stigma negatif. Mereka dibungkam, dibatasi ruang geraknya bahkan tak jarang dikriminalisasi. Dengan alasan pelanggaran konstitusional, mereka ditakut-takuti dengan jerat hukuman. Ketika gen Z melakukan perlawanan, maka para penguasa akan mempertontonkan sikap represif terhadap mereka. Sebagai bukti, menurut Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, penetapan tersangka 295 anak-anak oleh kepolisian dilakukan secara tidak transparan dan tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak. Mereka diperlakukan tidak manusiawi bahkan diancam dikeluarkan dari sekolah. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Peradilan Anak.
Penetapan tersangka tersebut akhirnya difahami oleh masyarakat sebagai bentuk ketakutan para penguasa di sistem demokrasi ini. Arus kritik dari gen Z dianggap sebagai ancaman nyata yang akan bergulir menjadi sebuah kekuatan politik yang akan mengancam eksistensi ideologi kapitalisme demokrasi. Untuk itu, hambatan apapun yang akan mengganggu kepentingan penguasa harus dihilangkan. Demokrasi yang katanya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat nyatanya para penguasanya anti kritik. Layakkah demokrasi dengan gagasan absurdnya ini dipertahankan?
Sungguh, tak ada pilihan lain bagi umat di dunia saat ini, selain kembali pada aturan yang dibuat oleh sang Pencipta, yakni sistem Islam. Sistem yang akan menghadirkan ruang bagi para generasi sebagai agen perubahan untuk menorehkan tinta emas peradaban. Melalui akidah yang lurus, generasi ditempa untuk menjadi manusia bertakwa, memiliki kesadaran politik yang tinggi yang tercermin dalam ma'ruf nahi munkar. Generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap islam, berfikir sebelum berbuat, tidak pragmatis terhadap fakta dan tidak liar menyikapi kekeliruan. Mereka juga diber ruang untuk melakukan kritik terhadap penguasa jika terjadi pelanggaran syariat.
Umat hari ini rindu diterapkannya kembali kehidupan agung yang dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika mendirikan negara Islam di Madinah. Para pemuda dibina oleh Rasulullah saw, diarahkan untuk tujuan hidup yang mulia sesuai petunjuk Allah SWT. Mereka dibentuk pemikirannya tentang hakikat kehidupan yang kemudian menjadi sebuah pemahaman yang mengkristal sehingga para pemuda tersebut rela mati berjuang demi kebangkitan agamanya serta penerapan aturan islam secara menyeluruh dalam aspek kehidupan. Hal ini hanya terwujud dalam sebuah negara islam yang dipimpin oleh Rasulullah saw yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau sehingga terjadi perubahan secara total dan kegemilangan Islam yang menjadi rahmat untuk seluruh umat manusia.
