![]() |
| Oleh: Yanyan Supiyanti, A.Md. Pendidik Generasi |
Fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah kini semakin meluas di Indonesia. Jutaan anak tumbuh tanpa sosok ayah yang hadir secara utuh — baik secara fisik maupun emosional.
Kehadiran ayah sejatinya tidak hanya diukur dari perannya sebagai pencari nafkah. Sayangnya, jutaan anak di negeri ini tumbuh tanpa sentuhan kasih, bimbingan, dan teladan dari sang ayah. Data menunjukkan sekitar 20,1 persen atau 15,9 juta anak Indonesia hidup tanpa keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata persoalan dalam struktur keluarga dan budaya kerja modern. Banyak ayah terjebak dalam peran sempit sebagai pencari nafkah semata, sementara fungsi mendidik dan membangun kedekatan emosional dengan anak sering terabaikan.
Potret Krisis Peran Ayah di Indonesia
Ketiadaan figur ayah bukan selalu berarti sang ayah tidak hadir secara fisik. Dalam banyak kasus, ayah memang berada di rumah, tetapi tidak benar-benar terlibat dalam kehidupan anak-anaknya.
Survei menunjukkan banyak ayah bekerja lebih dari 60 jam per minggu, sehingga waktu untuk berinteraksi dengan keluarga sangat terbatas. Sebagian lainnya benar-benar kehilangan peran ayah karena perceraian atau kematian.
Fenomena ini menegaskan bahwa krisis peran ayah bukan semata urusan keluarga, melainkan juga akibat sistem sosial dan budaya patriarki yang membebankan hampir seluruh tanggung jawab domestik pada ibu.
Akibat Sistem yang Menjerat
Generasi tanpa figur ayah tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari sistem kehidupan kapitalistik-sekuler yang menilai keberhasilan hidup dari ukuran materi.
Dalam sistem ini, para ayah dipaksa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi, sehingga waktu bersama keluarga menjadi sangat sedikit. Akibatnya, fungsi ayah sebagai qawwam — pelindung, penuntun, dan pemberi rasa aman — semakin memudar.
Padahal dalam pandangan Islam, ayah dan ibu memiliki peran yang sama pentingnya. Ayah berfungsi sebagai pencari nafkah sekaligus teladan moral dan spiritual bagi anak, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman. Sedangkan ibu memiliki peran besar dalam mengasuh, menyusui, dan mendidik anak di rumah.
Negara seharusnya hadir memberikan dukungan terhadap peran ayah, dengan menciptakan lapangan kerja berupah layak dan sistem sosial yang memungkinkan para ayah punya cukup waktu mendampingi keluarga.
Ayah yang Selalu Hadir untuk Anak-Anaknya
Dalam pandangan Islam, anak adalah amanah sekaligus karunia dari Allah Swt. yang harus dijaga dan dididik dengan penuh tanggung jawab. Sejak dalam kandungan, orang tua berkewajiban mempersiapkan diri untuk membimbing dan melindungi anak dengan kasih sayang serta kesabaran.
Kesadaran bahwa anak adalah titipan Allah menjadikan seorang ayah berusaha untuk selalu hadir dan berperilaku baik terhadap anak-anaknya. Ia memahami bahwa tanggung jawab ini bukan hanya untuk dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhirat.
Seorang ayah tentu berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi saleh/salihah, mandiri, berakhlak baik, dan siap memperjuangkan nilai-nilai Islam di masyarakat.
Penutup
Kehadiran ayah memegang peranan penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Anak-anak membutuhkan teladan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, bukan hanya dari ibu.
Jangan sampai peran ayah diremehkan atau diabaikan. Islam telah menegaskan pentingnya keluarga yang utuh agar lahir generasi saleh/salihah yang kuat, berkepribadian Islam, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Wallahualam bissawab.
