![]() |
Oleh. Joviena Alifia Arfah Pegiat literasi |
Pernyataan dari mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengenai rusaknya sistem peradilan di Indonesia. Hal ini memicu perhatian besar terhadap kondisi hukum di negara ini saat ini. Mahfud menyebut praktik jual-beli putusan sebagai fenomena yang “jorok”, mencerminkan kerusakan moral yang telah menjalar ke akar sistem. Ironisnya, menurutnya, perkara korupsi yang dibawa ke pengadilan malah menjadi lahan baru untuk korupsi. (sumber Kompas dot com, 20/4/2025)
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkuat kekhawatiran ini. Sebanyak 29 hakim terjerat kasus suap sejak 2011 hingga 2024, dengan nilai total suap mencapai Rp107,9 miliar. Kasus terbaru bahkan menyoroti dugaan suap sebesar Rp60 miliar yang melibatkan empat hakim Tipikor demi membebaskan tiga perusahaan besar di sektor kelapa sawit. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa sistem peradilan saat ini telah dikuasai oleh apa yang mereka sebut sebagai “mafia hukum”. (Kompas dot com, 20/4/2025)
Kekecewaan terhadap kondisi ini juga datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Dirinya secara emosional menyatakan bahwa para hakim korup pantas dihukum mati—bahkan sampai tiga kali jika mungkin. Ungkapan ini mencerminkan keputusasaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. (Kompas.com, 17/4/2025)
Dalam situasi krisis yang melanda saat ini, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan solusi pragmatis, yakni dengan meningkatkan gaji para hakim. Ia meyakini bahwa kesejahteraan berkorelasi dengan kejujuran. Janji ini telah ia lontarkan sejak kampanye Pilpres 2024 sebagai solusi untuk meredam godaan korupsi.
Namun, benarkah masalah integritas para hakim semata-mata disebabkan oleh persoalan penghasilan?
Sayangnya, pendekatan ini ibarat menambal bocoran kapal dengan plester. ICW menanggapi skeptis langkah ini, terutama karena praktik korupsi kerap melibatkan keluarga pelaku. Fakta menunjukkan bahwa 44% kasus korupsi melibatkan anggota keluarga menjadikan solusi yang hanya menyentuh permukaan jelas tidak memadai.
Islam sebenarnya sudah sejak lama menawarkan solusi, bukan pragmatis tetapi menyeluruh—baik secara personal maupun sistemis. Dalam Islam, kedudukan hakim sangat dimuliakan. Namun, tanggung jawabnya pun sangat besar.
Allah Swt. memerintahkan agar hakim memutuskan perkara berdasarkan hukum-Nya dan melarang keras keputusan yang zalim. Hakim yang menyimpang, apalagi memutuskan perkara dengan suap atau karena tekanan, jelas terjerumus dalam kezaliman yang berat dosanya. Demikian sebagaimana yang Allah Swt. tegaskan:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: "Siapa saja yang tidak memutuskan hukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan maka mereka itulah kaum yang zalim." (TQS. Al-Maidah [5]: 45)
Rasulullah saw. bahkan membagi hakim dalam tiga golongan: "Hanya satu yang akan masuk surga, yaitu yang adil dan mengetahui kebenaran. Dua lainnya masuk neraka: yang tahu kebenaran tapi tidak berlaku adil, dan yang memutus perkara tanpa ilmu."
Solusi personal dalam Islam mengharuskan pengangkatan hakim dari kalangan yang bertakwa, berilmu, dan memiliki integritas tinggi. Ia tidak boleh kafir, fasik, atau mudah tergoda syahwat dunia. Seorang hakim seharusnya merasa takut akan pertanggungjawaban akhirat lebih dari takut pada sanksi hukum duniawi.
Namun, Islam tak berhenti pada aspek personal. Solusi sistemis pun disediakan. Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khaththab memantau harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat untuk memastikan mereka tidak memperkaya diri secara haram. Islam tidak segan memerintahkan penyitaan harta hasil korupsi, seperti ditegaskan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 188:
وَ لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَ أَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: "Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. Jangan pula kalian membawa harta itu kepada hakim agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain dengan dosa, padahal kalian mengetahui." (TQS. Al-Baqarah [2]: 188)
Masalahnya, semua solusi ini tidak akan bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan sekuler yang memisahkan agama dari hukum dan pemerintahan. Sistem saat ini justru melahirkan celah besar bagi mafia peradilan untuk terus beroperasi. Oleh karena itu, satu-satunya solusi tuntas adalah penerapan sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh—yakni Khilafah. Hanya dalam sistem ini hukum Islam ditegakkan secara adil, menyeluruh, dan tanpa pandang bulu.
Dengan sistem Khilafah, mafia hukum tidak hanya ditindak, tetapi benar-benar diberantas sampai ke akar-akarnya.
Wallahu a’lam bi ash-shawâb.