![]() |
Oleh: Ummu Mubarok Pengasuh Majelis Taklim |
Gaza terus berduka. Sejak 18 Maret 2025, lebih dari 10.000 warga Palestina syahid akibat kebrutalan militer Israel. Sepanjang Ramadan dan Idulfitri, rakyat Gaza hidup dalam ketakutan, terjebak dalam genosida yang seakan didiamkan dunia.
Kecaman demi kecaman dilontarkan oleh negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Tapi semua itu hanya berhenti di panggung diplomasi. Tak ada langkah konkret. Retorika tak pernah menyelamatkan nyawa.
Lebih mengejutkan, Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap menampung 1.000 warga Gaza. Evakuasi yang disebut “sementara” ini justru menimbulkan polemik. Pengamat menilai, langkah ini berisiko besar: menguntungkan agenda Israel dan Amerika yang ingin mengosongkan Gaza dari rakyatnya. Bukannya melawan penjajahan, justru ikut memuluskan proyek pengusiran.
Kritik juga datang dari dalam negeri. Publik mempertanyakan, di tengah krisis ekonomi dan harga kebutuhan yang melambung, bagaimana negara akan membiayai ribuan pengungsi? Nasib pengungsi Rohingya saja belum selesai. Kini muncul beban baru?
Lebih jauh lagi, rencana ini dinilai sebagai respons atas tekanan Amerika Serikat. Kenaikan tarif impor AS sebesar 32% disebut-sebut sebagai “tukar guling” dengan kesediaan Indonesia menjadi tempat relokasi. Jika benar, ini bentuk nyata ketundukan pada kekuatan asing. Kedaulatan negeri dipertaruhkan demi kepentingan global.
Inilah wajah buram kepemimpinan Muslim hari ini. Nasionalisme sempit telah melumpuhkan semangat jihad dan solidaritas umat. Palestina dianggap “urusan dalam negeri”, padahal umat Islam itu satu tubuh. Ketika satu bagian terluka, seluruh tubuh seharusnya merasakan sakitnya.
Kita tidak butuh diplomasi basa-basi. Palestina tidak butuh pemindahan rakyatnya, tapi pembebasan negerinya. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan jihad. Solusi tuntas bagi Palestina bukanlah relokasi, tapi pengusiran penjajah.
Sudah saatnya umat Islam bangkit. Khilafah bukan sekadar kenangan sejarah—ia adalah sistem global yang pernah menyatukan kaum Muslim dan menjaga kehormatan negeri-negeri Islam. Tanpa Khilafah, umat ini akan terus menjadi bulan-bulanan kekuatan penjajah.
Oleh karena itu, sudah saatnya muncul kepemimpinan ideologis yang berani menyuarakan kebenaran. Sebuah partai politik yang tak sekedar ikut arus, tapi aktif menggerakkan umat dan mendesak para penguasa negeri-negeri Muslim agar mengirimkan pasukan--bukan untuk evakuasi, tapi untuk jihad. Untuk membebaskan Palestina. Lebih dari itu, untuk menegakkan kembali Daulah Khilafah ala minhaj an-nubuwwah--sebuah sistem yang akan menyatukan umat, menjaga kehormatan Islam, dan menghentikan penjajahan secara tuntas.
Wallahu a'lam bishshawwab