Oleh Fransiska, S.Pd.
Aktivis Dakwah Islam Kaffah
Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan PPN 12% hanya diperuntukkan untuk barang-barang mewah saja. Namun, fakta di lapangan barang lain pun tetap naik.
Di antaranya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya.
Sejalan dengan hasil dari Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, dengan adanya implikasi tersebut, narasi pemerintah bahwa tarif PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang mewah pun tidak tepat. Karena beberapa barang dengan nilai lain, tetap saja acuan pembayaran PPN nya adalah 12 persen walau bukan barang mewah (Kompas.id, 3/1/25).
Hal ini terjadi karena ketidakjelasan di awal akan barang yang terkena PPN 12 persen, sehingga penjual memasukan PPN 12 persen pada semua jenis barang. Ketika harga sudah naik, maka harga tidak bisa dikoreksi lagi meskipun kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja.
Akibat dari kenaikan PPN ini, rakyat semakin terbebani. Biaya hidup semakin tinggi, sedangkan penghasilan tetap bahkan menurun. Maka, untuk menutupi kesalahannya, pemerintah menyebutkan berbagai program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat. Salah satunya adanya pemberian makan siang gratis dan subsidi untuk pembelian listrik.
Terlihat bahwa negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah meringankan beban rakyat padahal abai terhadap penderitaan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa penguasa saat ini populis otoriter.
Seharusnya dalam Islam, penguasa itu wajib menjadi raa'in (pemimpin) yang mengurusi rakyat sesuai dengan aturan Islam. Mengelola sumber daya alam dengan baik demi mencukupi kebutuhan negara dan rakyat.
Pemungutan pajak hanya dilakukan jika baitul mal (kas negara) mengalami defisit yang tidak bisa ditutupi dengan sumber pemasukan lain. Pajak juga hanya dikenakan kepada orang-orang yang kaya, dan hanya jika harta kekayaan mereka lebih dari kebutuhan hidup mereka. Setelah kebutuhan negara tercukupi, maka pemungutan pajak dihentikan.
Begitulah cara Islam dalam meriayah rakyatnya. Sehingga tidak ada rakyat yang merasa sengsara atas kebijakan yang ditetapkan penguasa. Karena penguasa senantiasa menerapkan aturan Allah Swt.
Wallahualam bissawab.