Oleh : Ailsya Chairani Abel
(Mahasiswa Psikologi)
Universitas Andalas
Pengangguran masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tercatat 4,82% atau sekitar 7,28 juta orang. Walau angka ini sedikit menurun dari tahun sebelumnya, jumlahnya tetap menunjukkan masalah serius dalam penyerapan tenaga kerja. Pertanyaan pun muncul, mengapa angka pengangguran tetap tinggi, padahal jumlah lulusan perguruan tinggi semakin banyak? Salah satu penyebab utamanya adalah skill mismatch atau ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan industri. Banyak lulusan, termasuk sarjana, akhirnya menganggur karena kompetensi yang mereka miliki tidak sesuai dengan tuntutan dunia kerja.
Skill mismatch terjadi dalam dua bentuk. Pertama, horizontal mismatch, yaitu jurusan atau bidang studi tidak sejalan dengan pekerjaan yang dibutuhkan. Kedua, vertical mismatch, ketika tingkat pendidikan pekerja terlalu tinggi atau justru lebih rendah dari persyaratan pekerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan banyak anak muda, khususnya Gen-Z, hanya mengandalkan ijazah tanpa keterampilan praktis. Radar Lampung (2024) menulis bahwa sebagian besar Gen-Z menganggur karena kurang menguasai keterampilan digital dan soft skills. Media Indonesia (2024) bahkan mencatat ada sekitar 1 juta lulusan universitas di Indonesia yang masih menganggur. Ironisnya, justru pengangguran tinggi banyak terjadi pada lulusan menengah dan tinggi, atau kelompok yang mestinya paling siap kerja. Data International Labour Organization (ILO, 2023) menunjukkan bahwa sekitar 20% anak muda Indonesia masuk kategori NEET (Not in Employment, Education, and Training). Angka ini mengungkap jurang yang lebar antara pendidikan, pelatihan, dan dunia kerja.
Sistem pendidikan dan pelatihan di Indonesia masih kesulitan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2023 mencatat ada 1,6 juta lulusan SMK yang menganggur, atau sekitar 20% dari total pengangguran 7,99 juta orang (Kompas.id, 2024). Lalu, hanya 25% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan jurusannya. Survei Kabar Bursa (2024) menyebutkan lebih dari separuh pekerja mengalami vertical mismatch dan sekitar 60% menghadapi horizontal mismatch. Artinya, masalah ini bukan hanya soal individu, tapi sudah menjadi persoalan struktural. Kesenjangan juga terlihat pada pendidikan vokasi. Kementerian Perindustrian (IDN Times Jabar, 2023) mencatat, pada 2023 hanya ada 5.673 lulusan vokasi, padahal industri membutuhkan sekitar 682.000 pekerja setiap tahun. Kurikulum yang kurang responsif terhadap perkembangan industri membuat lulusan sulit bersaing, meski sebenarnya lowongan kerja cukup tersedia. Tidak heran, Kementerian Tenaga Kerja (2024) menekankan pentingnya pembaruan kurikulum agar selaras dengan kebutuhan industri, khususnya di era digitalisasi, otomasi, dan globalisasi. Dari kacamata psikologi, fenomena ini bisa dijelaskan lewat Expectancy-Value Theory dari Eccles dan Wigfield (2002). Teori ini menyebutkan bahwa keputusan seseorang, termasuk dalam pendidikan dan pekerjaan, dipengaruhi oleh harapan keberhasilan serta nilai yang diberikan pada suatu bidang. Banyak mahasiswa memilih jurusan hanya karena minat pribadi atau dorongan keluarga, bukan karena pertimbangan peluang kerja. Akibatnya, ketika lulus, keterampilan yang mereka miliki sering kali tidak relevan dengan kebutuhan industri, sehingga memperbesar risiko pengangguran.
Mengatasi masalah pengangguran akibat skill mismatch jelas bukan tanggung jawab satu pihak saja. Pemerintah, dunia pendidikan, industri, hingga individu punya peran masing-masing. Pemerintah, harus memperkuat kebijakan yang mendukung sistem vokasi, seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Aturan ini menjadi fondasi penting untuk membenahi kualitas sumber daya manusia. Dunia pendidikan juga perlu berbenah. Kurikulum harus lebih adaptif, menambahkan mata kuliah praktis, memperluas program magang, dan melibatkan industri dalam proses pembelajaran. Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya mendapat teori, tetapi juga pengalaman nyata di dunia kerja. Industri sendiri tidak bisa hanya menuntut tenaga kerja siap pakai. Mereka juga perlu memberi ruang bagi lulusan baru untuk belajar dan beradaptasi, misalnya melalui on the job training atau program magang berbayar. Transparansi mengenai keterampilan apa yang dibutuhkan juga sangat penting agar calon pekerja bisa mempersiapkan diri. Sementara itu, individu juga harus aktif membekali diri. Ijazah saja tidak cukup sehingga generasi muda perlu terus belajar, mengikuti kursus tambahan, memperkuat soft skills, serta mengasah keterampilan digital yang kini menjadi kebutuhan dasar di banyak bidang pekerjaan. Contoh nyata bisa dilihat dari penerapan model link & match antara sekolah dan industri. Penelitian Maulina (2022) menunjukkan bahwa siswa SMK yang mendapat pengalaman praktik industri memiliki keterampilan lebih siap pakai. Di SMK Negeri 6 Batam, penerapan kelas industri yang melibatkan perusahaan mitra terbukti berhasil mencetak lulusan yang langsung sesuai dengan kebutuhan pasar kerja tanpa pelatihan tambahan (Othman, 2023).
Pengangguran di Indonesia yang mencapai 7,28 juta orang sebagian besar dipicu oleh skill mismatch. Masalah ini jelas kompleks, bersifat struktural, dan menyentuh banyak aspek. Namun, jika semua pihak (pemerintah, pendidikan, industri, dan individu) bisa bersinergi, maka jurang keterampilan bisa dipersempit. Dari sisi psikologis, pengangguran bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga menyangkut harga diri, motivasi, dan kesehatan mental. Jika kesenjangan ini mampu diatasi, bonus demografi yang dimiliki Indonesia akan benar-benar menjadi peluang emas, bukan beban.
Referensi :
Badan Pusat Statistik. (2024). Tingkat Pengangguran Terbuka Agustus 2024. Jakarta: BPS.
Eccles, J. S., & Wigfield, A. (2002). Motivational beliefs, values, and goals. Annual Review of Psychology, 53, 109–132.
IDN Times Jabar. (2023). Kementerian Perindustrian sebut lulusan vokasi tidak seimbang dengan kebutuhan industri.
International Labour Organization. (2023). Youth Employment in Indonesia. Geneva: ILO.
Kabar Bursa. (2024). Survei mismatch pekerja Indonesia.
Kementerian Ketenagakerjaan. (2024). Data ketenagakerjaan Indonesia.
Kompas.id. (2024). Data Sakernas: 1,6 juta lulusan SMK menganggur.
Maulina, D. (2022). Implementasi link and match dalam meningkatkan kompetensi siswa SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 12(2), 101–110.
Media Indonesia. (2024). 1 juta lulusan universitas Indonesia menganggur.
Othman, R. (2023). Studi kasus penerapan kelas industri di SMK Negeri 6 Batam. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 18(1), 45–56.
Radar Lampung. (2024). Gen-Z menganggur karena minim keterampilan digital dan soft skill.
Republik Indonesia. (2022). Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Jakarta: Sekretariat Negara.
