Oleh: Umma Zafran
(Pegiat Literasi)
Dunia Pendidikan sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Beberapa kasus guru dan murid yang terjadi di lingkungan Sekolah Menengah Atas menjadi trend viral di media sosial. Salah satunya kasus yang terjadi di SMA Negri 1 Cimarga Banten. Kasus yang menimpa seorang kepala sekolah dan sempat di nonaktifkan dari jabatannya karena menegur siswanya di sekolah. Hal itu beliau lakukan karena mendapati siswanya ketahuan merokok di sekolah, namun siswa tersebut berdalih tidak melakukannya (suaradotcom,18/10/25).
Kasus ini sempat berbuah panjang. Orangtua dari siswa yang merasa tidak terima anaknya ditegur oleh kepala sekolah, melaporkan Kepala Sekolah tersebut ke polisi. Selain itu, 630 siswa di SMAN 1 Cimarga Banten mogok sekolah dan melakukan aksi demo demi membela rekannya yang ditegur Kepala Sekolah, tanpa tahu akibat apa yang akan muncul di masa depan.
Kasus selanjutnya adalah didapati foto seorang siswa di Makassar berinisial AS yang merokok disamping gurunya bernama Ambo sambil mengangkat kaki, dan menjadi viral di media sosial. Ketika diklarifikasi yang dikatakan guru tersebut adalah ketidaktahuan bahwa siswanya merokok dan terlalu fokus mengajari membaca puisi. Terlebih lagi yang menjadi sorotan adalah karena Bapak guru mengatakan bahwa dikondisi saat ini, guru tidak lagi bisa bersikap terlalu keras kepada siswa karena takut dianggap melanggar HAM(suaradotcom,18/10/25).
Dilema Pendidik Era Modern
Betapa rumitnya posisi pendidik saat ini, terjebak dalam dilema antara tuntutan kurikulum dan realitas sosial yang dinamis. Akar kerumitan ini bersumber dari dua hal utama, yaitu : adanya “ruang abu-abu” yang besar terharap penegakkan disiplin siswa, serta merosotnya wibawa dan penghormatan masyarakat terhadap guru. Guru sering kali merasa tertekan untuk menegakkan aturan, namun pada saat yang sama dibayangi ketakutan akan tuntutan hukum atau intervensi orang tua, sebuah kondisi yang membuat batas antara mendidik dan menghukum menjadi sangat kabur.
Selain itu, kecepatan penyebaran informasi melalui media sosial juga turut andil melucuti otoritas mereka, di mana satu insiden disiplin dapat diviralkan dan menghancurkan reputasi serta wibawa pendidik dalam sekejap. Oleh karena itu, tanpa adanya payung hukum yang jelas dan dukungan komprehensif dari semua pihak, pendidik akan terus berjuang di medan yang penuh risiko dan ketidakpastian.
Kejadian ini memperlihatkan adanya pergeseran etika, dimana peserta didik merasa terlalu bebas bertindak, sementara para pendidik merasa kehilangan kekuatan.
Kondisi yang serba dilematis ini telah mengikis batasan profesional dan rasa hormat di dalam lingkungan belajar. Ketika seorang guru berusaha keras menegakkan aturan atau kedisiplinan, mereka malah berisiko dilaporkan hingga mengancam karier. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan rasa cemas atau takut, yang sangat menghambat tercapainya proses pendidikan yang ideal. Situasi ini bukan hanya sebatas hilangnya rasa hormat, ini adalah pergeseran kekuasaan yang drastis, di mana sanksi edukatif yang seharusnya bertujuan memperbaiki perilaku siswa kini dapat berbalik menjadi bumerang bagi karier pendidik.
Akibatnya, banyak guru memilih untuk bersikap pasif, menghindari konfrontasi, dan mengabaikan pelanggaran ringan demi menjaga keselamatan profesional mereka, yang pada akhirnya merugikan kualitas pendidikan karakter siswa itu sendiri.
Fenomena demoralisasi ini tidak dapat dipisahkan dari kritik terhadap tatanan sosial yang lebih besar. Sistem liberal yang mengedepankan kebebasan individual tanpa diimbangi filter moral yang kuat dan negara yang abai dalam pengawasan, berpotensi melahirkan generasi yang tidak taat aturan dan mengalami krisis moral. Akar dari segala permasalahan yang kita saksikan saat ini dapat ditelusuri pada penerapan sistem sekuler.
Praktik pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari telah memunculkan fondasi yang rapuh. Tanpa adanya batasan dan panduan dari agama, kebebasan individual menjadi tidak terkontrol, yang pada akhirnya menghancurkan integrasi dan menimbulkan kekacauan dalam tatanan sosial.
Salah satu manifestasi nyata dari krisis ini terlihat pada kebiasaan merokok remaja. Bagi mereka, merokok telah bergeser menjadi alasan ungkapan kedewasaan, jati diri, dan bahkan kebanggaan agar dianggap keren di lingkungan sosialnya. Mirisnya, di tengah upaya edukasi di sekolah tentang bahaya rokok, di sisi lain, rokok justru sangat mudah dijangkau remaja, bahkan dijual secara batangan di warung-warung dekat lingkungan pendidikan. Kemudahan akses ini adalah bukti nyata lemahnya negara dalam pengawasan dan penegakan regulasi (seperti PP No. 28 Tahun 2024) yang melarang penjualan produk tembakau kepada anak di bawah umur.
Akibatnya, alih-alih membentuk karakter yang disiplin, masyarakat dan negara secara tidak langsung telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelanggaran dan pembentukan moral yang rapuh. Tidak ada tindak kekerasan yang dibenarkan dengan alasan apapun. Oleh karena itu, masyarakat saat ini butuh pendidikan yang menjadikan remaja ini paham siapa dirinya dan untuk apa dia belajar.
Pendidikan dalam Sistem Islam
Berbagai kasus yang muncul belakangan ini secara terang-terangan menunjukkan kelemahan sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Contohnya saja walaupun dalam Islam hukum merokok itu mubah, namun tetap kita tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain. Terlebih lagi hal ini dilakukan di dalam lingkungan pendidikan, yang mana seharusnya terjaga dari tindakan tercela. Selain itu, tidak adanya perlindungan yang pasti terhadap guru. Guru berada dalam tekanan yang luar biasa. Pola pendidikan yang sekuler kini terlihat tidak mampu mencetak generasi yang soleh dan bermoral. Sangatlah penting bagi kita untuk menanamkan ulang prinsip-prinsip mendasar tentang tata krama dan penghormatan yang seharusnya diberikan kepada guru.
Islam menempatkan guru sebagai tokoh sentral dan pilar penting peradaban. Peran mereka sangat dihargai karena tugas utama mereka adalah mengukir kepribadian para siswa. Seorang guru tidak hanya menyalurkan ilmu, melainkan harus menjadi figur pendidik yang memberikan contoh perilaku terpuji kepada siswa. Tidak hanya siswa yang seharusnya patuh dan taat kepada guru di sekolah, namun sebagai orangtua dari siswa juga seharusnya memberi penanaman kepada anak-anak di rumah untuk selalu menghormati gurunya. Karena di dalam Islam, ada marwah guru yang harus dijaga oleh peserta didik maupun lingkungannya.
Pendidikan Islam menanamkan pada siswa suatu pola pikir dan sikap hidup yang selaras dengan ajaran Islam. Tujuannya adalah mencetak generasi yang menyadari bahwa hakikat penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pemahaman ini berujung pada kesadaran bahwa segala amal perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir. Penting bagi pemuda muslim untuk bangkit, berpegang teguh pada prinsip, dan menjadi generasi yang beriman. Untuk mencapai hal tersebut, penerapan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) adalah kebutuhan mendesak agar sistem pendidikan yang dijalankan benar-benar mengikuti tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya.
Wallahu a’lam bishawab
