![]() |
| Oleh: Muhammad Rasyid Halim (Mahasiswa Psikologi) Universitas Andalas |
Sumbar -- Sudah menjadi rahasia umum bahwa kita sering melihat pengusaha sukses yang dulunya sibuk menghitung laba di kantor mewah, tiba-tiba pindah haluan. Mereka memakai baju partai dan ikut Pilkada atau Pilpres. Dari luar, mereka mengatakan tujuannya mulia: ingin mengurus negara dengan cara yang lebih efisien seperti mengurus perusahaan.
Namun, mari kita jujur. Keputusan seorang konglomerat untuk masuk ke dunia politik pastilah didasari oleh perhitungan yang sangat matang. Dunia politik bagi mereka bukan sekadar panggilan hati, melainkan sebuah langkah strategis bisnis level tertinggi.
Menurut saya, ada tiga alasan utama yang membuat orang-orang super kaya ini berani meninggalkan "zona nyaman" bisnis untuk terjun ke medan politik yang penuh intrik. Tiga alasan ini adalah tentang pengamanan, keuntungan, dan kehormatan.
1. Politik adalah "Asuransi Premium" untuk Harta Kekayaan
Bayangkan Anda adalah pemilik perusahaan yang nilainya triliunan. Sebesar apa pun harta Anda, satu keputusan dari pemerintah, misalnya soal pajak, izin impor, atau aturan lingkungan, bisa membuat perusahaan Anda untung besar atau malah bangkrut.
Di sinilah politik berperan sebagai tameng atau pelindung. Dengan menjadi politisi (atau punya banyak teman politisi), seorang pengusaha bisa memastikan bahwa aturan yang dibuat tidak akan merugikan bisnisnya. Mereka bisa "membisikkan" perubahan regulasi, menunda undang-undang yang mengancam, atau bahkan melancarkan perizinan yang selama ini macet.
Sederhananya: uang bisa membeli hampir segalanya, tetapi kekuasaan yang bisa melindungi uang itu. Daripada terus-menerus khawatir dengan risiko kebijakan yang tiba-tiba, lebih baik duduk langsung di dapur tempat kebijakan itu dimasak. Bagi mereka, biaya kampanye politik adalah investasi kecil yang sangat berharga untuk melindungi aset triliunan. Mereka bukan cuma mau main, tetapi mau menulis aturan mainnya.
2. Cari Untung Lebih Besar dan Lebih Cepat
Selain melindungi bisnis yang sudah ada (motif defensif), politik adalah jalur cepat untuk memperluas kerajaan bisnis (motif ofensif). Sektor-sektor yang paling menggiurkan seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, energi, dan tambang, semuanya dikontrol ketat oleh pemerintah.
Ketika seorang pengusaha memegang jabatan politik, pintu-pintu proyek besar negara langsung terbuka. Mereka punya akses informasi lebih dulu, bisa ikut menentukan tender, bahkan merancang proyek yang persis menguntungkan bisnis mereka sendiri.
Misalnya, seorang pengusaha konstruksi menjadi menteri Pekerjaan Umum. Tentu saja, ia memiliki kendali penuh atas proyek-proyek infrastruktur besar. Meskipun tidak menunjuk perusahaannya sendiri secara langsung (karena aturan etik), ia bisa memastikan proyek tersebut jatuh ke tangan rekanan atau afiliasi yang ia percaya, yang pada akhirnya akan mendukung ekosistem bisnisnya.
Ini adalah keuntungan yang mustahil didapatkan di pasar bebas yang murni. Politik menawarkan jalan pintas untuk mendapatkan monopoli resmi atau hak jangka panjang yang dijamin oleh negara. Ibaratnya, mereka mengubah kompetisi pasar menjadi kompetisi lobi, dan dalam permainan lobi ini, mereka adalah pemain yang paling kuat.
3. Ambisi Status, Kehormatan, dan Dikenang Sejarah
Setelah mencapai titik kekayaan yang membuat hidup tujuh turunan terjamin, uang sering kali menjadi kurang menarik. Motivasi mereka bergeser dari uang ke hal yang tidak bisa dibeli, yaitu kekuasaan dan warisan.
Menjadi CEO perusahaan besar hanya dihormati di kalangan pebisnis. Tetapi menjadi seorang Presiden, Gubernur, atau Anggota Parlemen memberikan tingkat kehormatan dan pengakuan yang jauh lebih besar dari seluruh masyarakat. Mereka ingin dikenang bukan hanya karena jumlah kekayaan mereka, tetapi karena dampak yang mereka tinggalkan sebagai arsitek kebijakan, pembangun negara, atau pahlawan rakyat.
Kekuasaan politik memberikan kemampuan untuk mengubah nasib banyak orang, memimpin, dan membentuk sejarah. Bagi para taipan yang sudah bosan hanya mengontrol saham, mengontrol negara adalah tantangan baru yang memuaskan ego dan ambisi mereka. Mereka mencari tempat abadi di buku sejarah, bukan sekadar di daftar orang terkaya dunia.
Batasan yang Kian Kabur
Fenomena ini, meskipun didorong oleh ambisi pribadi dan perhitungan bisnis, memiliki risiko besar bagi masyarakat. Ketika pengusaha dan politisi menjadi orang yang sama, batas antara kepentingan pribadi (bisnis) dan kepentingan publik (rakyat) menjadi sangat kabur, bahkan hilang.
Risikonya adalah kebijakan negara dibuat untuk memperkaya segelintir orang, bukan untuk menyejahterakan mayoritas. Inilah yang membuat demokrasi terasa mahal dan sulit dipercaya. Untuk menjaga keadilan, kita perlu sistem yang kuat agar siapa pun yang memimpin, prioritas utamanya tetaplah rakyat, bukan laporan laba rugi perusahaan mereka.
