Oleh Sumiyah Umi Hanifah
Pemerhati Kebijakan Publik
Tanah ini bernafas berat
Luka-lukanya terbuka oleh cakar baja
Darahnya mengalir ke kantong-kantong
asing
Apa yang tersisa?
Hanya tangis ibu kami
Terbungkus dalam debu yang kami
hirup ...
Sepenggal puisi mengiris hati karya
Pablo Neruda dalam bukunya, "The Cry of The Earth" menggambarkan
kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tambang. Mereka tidak
memperoleh manfaat apapun dari pengelolaan tambang di daerahnya, selain
rusaknya lingkungan dan kehidupan yang menyesakkan, karena setiap hari harus
berkutat di antara tumpukan limbah.
Berbicara tentang aktivitas
penambangan, akhir-akhir ini publik dibuat tercengang dengan beredarnya kabar
bahwa Indonesia tengah "kecolongan". Ribuan aset negara milik rakyat
dikabarkan "bocor" alias dananya tidak masuk ke APBN. Salah satunya
yaitu dari sektor pertambangan. Hasil pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang
seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat, justru hanya dinikmati oleh segelintir
orang atau kelompok yang rakus dan tidak bertanggung jawab.
Hal ini disampaikan oleh Presiden
Prabowo Subianto dalam pidatonya saat acara penyerahan aset Barang Rampasan
Negara (BRN) dari 6 smelter ilegal, kepada PT Timah Tbk. pada Jumat, 15 Oktober
2025. Beliau menyatakan bahwa kerugian negara akibat penambangan ilegal ini
mencapai Rp300 triliun. Beliau meminta dukungan dari seluruh rakyat, anggota
MPR, dan partai politik (parpol) yang ada untuk menertibkan tambang-tambang yang
melanggar aturan. Menurut laporan para aparat, jumlah tambang yang berpotensi
merugikan negara ada sekitar 1.063 tambang ilegal. tempo.co, (7/10/2025).
Dibalik kisruh tambang ilegal yang merugikan keuangan negara, ternyata ada kebijakan baru yang mengejutkan publik. Pasalnya, dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat, Pemerintah Indonesia mengesahkan pengelolaan tambang (sumur minyak) pada masyarakat. Pemerintah berencana akan melibatkan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi, serta badan usaha milik daerah (BUMD). Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, program pemerintah ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan perputaran ekonomi di daerah. esdm.go.id, (Kamis, 9/10/2025).
Fakta menarik terkait pengelolaan
aset-aset negara yang bocor, sesungguhnya menunjukkan bahwa selama ini
pemerintah kurang teliti dalam mengontrol dan mengawasi praktik pengelolaan
tambang di tanah air. Pertanyaannya,
mengapa praktik kotor para penambang ilegal ini baru terungkap setelah negara
mengalami kerugian ratusan triliun rupiah? Persoalannya mungkin bukan baru
terbongkar, tetapi baru "dibongkar" di hadapan publik. Dengan kata
lain, banyak pengelolaan tambang yang merugikan negara, namun terkesan "dibiarkan".
Fakta di lapangan, begitu banyak perusahaan-perusahaan nakal yang kedapatan
melanggar aturan, tetapi tidak mendapatkan sanksi yang tegas dari negara.
Akibatnya, semakin banyak saja perusahaan besar atau penambang lokal yang
meneruskan bisnis ilegalnya.
Adapun terkait dengan penyerahan
pengelolaan tambang (sumur minyak) kepada swasta, jelas merupakan kesalahan
besar. Sebab, swastanisasi tambang berarti merampas hak kepemilikan umum dan
melanggar Syariat. Sabda Rasulullah saw, "Kaum Muslim berserikat dalam
tiga hal, yaitu air, padang rumah (hutan), dan api (energi)." (HR. Abu
Dawud dan Ahmad)
Makna hadis di atas adalah
bahwasanya harta milik umum (rakyat) tidak boleh dikelola oleh individu atau
kelompok, di antaranya yaitu terkait dengan perairan (laut, danau, air terjun,
dll), kemudian padang rumput (hutan, tumbuhan, termasuk kekayaan alam berupa
flora dan fauna), dan api (energi, yang meliputi: tambang emas, perak, nikel,
batubara, minyak bumi, gas, dll) semua harus dikelola oleh negara, dan hasilnya
diserahkan untuk kepentingan rakyat.
Dalam sistem kapitalis seperti yang
diterapkan saat ini, negara hanya berfungsi sebagai regulator (perantara).
Dalam hal ini negara justru menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta. Padahal,
Koperasi dan UMKM tidak memiliki kapasitas untuk mengelola tambang, sehingga
pihak swasta ini akan mencari pihak ketiga untuk mengelolanya. Pihak ketiga
yang dimaksud adalah mereka yang memiliki modal besar, yakni para oligarkis
(asing). Kemungkinan kedua mereka akan tetap mengelola tambang secara mandiri
dengan kemampuan dan juga modal seadanya. Hasilnya pun sudah bisa dipastikan,
bakal tidak sesuai harapan. Sebab, karena minimnya ilmu pengetahuan serta
pendanaan, bisa jadi akan mengabaikan standar kelayakan dasar, termasuk bisa
menyebabkan kerusakan lingkungan.
Kesalahan tata kelola tambang akibat
penerapan sistem kapitalisme sekuler. Negara terbukti lepas tangan, baik dalam
pengelolaan maupun resiko kerusakan lingkungan.
Dalam sistem Islam, negara berfungsi
sebagai "ra'in" atau pengurus (pelayan) rakyat. Ajaran Islam demikian
sempurna, mengatur berbagai macam persoalan umat, termasuk mengatur bagaimana
negara mengelola SDA yang dimiliki. Dalam sistem Islam, hakikat pengelolaan
tambang hanya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan
pribadi atau golongan, apalagi untuk kepentingan asing.
Sistem politik dan ekonomi Islam
menjamin sumber daya alam dikelola sesuai Syariat, sehingga diridai Allah Swt. Negara
dengan sistem Islam merupakan pengurus rakyat dan akan bertanggung jawab
terhadap rakyatnya. Tambang maupun aset negara lainnya adalah wewenang dan
tanggung jawab negara. Dalam sistem Islam keberadaan tambang dibagi menjadi
dua, tambang besar yang dikelola negara, dan tambang kecil dikelola oleh
masyarakat, namun dengan syarat negara tetap memantau dan bertanggung jawab
atas kebijakan yang dikeluarkan.
Negara dalam sistem Islam akan
mengeluarkan kebijakan yang benar-benar pro rakyat, namun juga tetap akan
memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan demikian, hanya sistem Islam yang
layak diterapkan dalam kehidupan, sebab aturan Islam berasal dari Allah Swt.
yang Maha benar.
Wallahualam bissawwab.
