![]() |
| Oleh: Septiadi (Mahasiswa Psikologi) Universitas Andalas |
Media sosial semakin memainkan peran penting dalam membentuk opini politik masyarakat Indonesia. Platform digital tidak lagi sekadar sarana komunikasi personal, melainkan ruang utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik, berdiskusi, hingga membentuk preferensi terhadap calon pemimpin.
Penelitian yang dilakukan oleh Zempi, Kuswanti, dan Maryam (2023) menegaskan bahwa media sosial memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan pengetahuan politik masyarakat. Media sosial tidak hanya menjadi media komunikasi, tetapi juga ruang belajar politik. Peran tersebut tampak dalam tiga aspek utama, yaitu involve (keterlibatan masyarakat dalam politik), connect (pembentukan jejaring politik), dan mobilize (mendorong dukungan partisipasi politik). Namun, pengetahuan politik yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh intensitas penggunaan, kualitas informasi, dan minat individu pada politik.
Sementara itu, penelitian Qadri (2020) juga menemukan bahwa media sosial berperan kuat dalam membangun opini publik, khususnya dalam ranah politik. Media sosial memungkinkan pesan politik menyebar cepat dan menjangkau khalayak luas, sekaligus memberikan ruang interaksi dua arah antara komunikator politik dengan masyarakat. Meski demikian, penelitian ini juga mengingatkan bahwa media sosial rawan disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, isu SARA, maupun propaganda yang dapat merusak kohesi sosial.
Kedua penelitian tersebut menunjukkan peran ganda media sosial: di satu sisi memperkuat demokrasi melalui partisipasi publik, di sisi lain membuka ruang risiko manipulasi informasi. Fenomena ini selaras dengan hasil survei lapangan terkini. Survei IndexPolitica (2023–2024) mengungkapkan bahwa 53,55 persen pemilih mengenal kandidat politik melalui media sosial. Hal serupa tampak dalam laporan Katadata Insight Center (2024) yang mencatat 66,2 persen anak muda mengakses informasi politik lewat Instagram, diikuti YouTube (40,8 persen), Facebook (38,1 persen), TikTok (33,8 persen), dan Twitter/X (30,2 persen).
Pergeseran perilaku konsumsi politik ini memperlihatkan bahwa media sosial telah menggeser dominasi media konvensional. Menurut hasil meta-analisis Universitas Gadjah Mada (2023), paparan media sosial berpengaruh moderat terhadap partisipasi politik, terutama pada generasi muda. Media sosial menyediakan ruang diskusi dan partisipasi publik yang lebih luas serta memungkinkan informasi politik tersebar lintas wilayah secara cepat.
Namun, di balik peluang tersebut, ancaman hoaks politik kian menguat. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2024) mencatat bahwa 24,7 persen hoaks di media sosial berkaitan dengan isu politik. Laporan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) memperkuat temuan ini dengan menyebut ada 1.292 hoaks politik yang beredar menjelang Pemilu 2024, hampir dua kali lipat dibandingkan Pemilu 2019. Kompas.com juga melaporkan bahwa sepanjang tahun 2024, setidaknya terdapat 305 narasi hoaks politik yang tersebar luas, dengan isu Pilpres menjadi yang paling dominan.
Selain hoaks, polarisasi politik di media sosial juga makin menajam. Analisis Riset Demokrasi (RISDEM, 2025) menunjukkan bahwa citra Presiden Prabowo lebih banyak mendapat sentimen positif di YouTube dan TikTok, sementara di X cenderung bernuansa negatif. Perbedaan ini menggambarkan bagaimana algoritma platform dan karakteristik pengguna memengaruhi persepsi politik publik.
Tidak hanya itu, rasa tidak aman dalam menyuarakan opini politik juga muncul di ruang digital. Survei Litbang Kompas (Mei 2025) mencatat 71,4 persen responden menilai media sosial belum menjadi ruang yang aman bagi demokrasi digital, sementara 16,4 persen di antaranya mengaku pernah membatalkan unggahan karena takut konsekuensi yang mungkin ditimbulkan.
Menyadari dampak besar media sosial terhadap opini politik, pemerintah berupaya memperketat pengawasan konten digital. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meningkatkan kerja sama dengan platform digital untuk menekan penyebaran hoaks, terutama saat periode pemilu. Di sisi lain, gerakan literasi digital juga terus digencarkan baik oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil. Tujuannya adalah membekali masyarakat dengan kemampuan kritis untuk memilah informasi yang benar dan mencegah jatuhnya publik dalam jebakan disinformasi.
Dengan demikian, media sosial jelas memiliki peran ganda dalam politik Indonesia. Di satu sisi, ia memperkuat keterlibatan politik masyarakat, membuka akses informasi, serta menyediakan ruang partisipasi yang lebih luas. Namun, di sisi lain, media sosial juga membuka peluang polarisasi, penyebaran hoaks, serta rasa tidak aman bagi masyarakat dalam mengekspresikan pandangan politiknya.
Tantangan ke depan adalah memastikan media sosial tetap menjadi ruang sehat bagi demokrasi. Untuk itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat dalam membangun literasi politik digital yang kuat. Dengan literasi yang baik, masyarakat tidak hanya mampu berpartisipasi lebih aktif, tetapi juga bisa melindungi demokrasi dari ancaman informasi yang menyesatkan.
Referensi
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2024, Februari 2). Survei APJII: Hoaks
politik mendominasi media sosial. Kompas.com.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2024/02/02/213000182/survei-apjii-hoakspolitik-mendominasi-media-sosial
Katadata Insight Center. (2024, Januari 18). Ini media sosial yang dipakai anak muda untuk
akses informasi politik. Databoks Katadata.
https://databoks.katadata.co.id/index.php/politik/statistik/7374885aba94635/inimedia-sosial-yang-dipakai-anak-muda-untuk-akses-informasi-politik
Kompas. (2025, Mei 23). Medsos belum aman bagi demokrasi digital. Kompas.id.
https://www.kompas.id/artikel/medsos-belum-aman-bagi-demokrasi-digital-2-2
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. (2024, Februari 2). Siaran pers: Hoaks politik meningkat
tajam jelang Pemilu 2024 ganggu demokrasi Indonesia. Mafindo.
https://mafindo.or.id/2024/02/02/siaran-pers-mafindo-hoaks-politik-meningkat-tajamjelang-pemilu-2024-ganggu-demokrasi-indonesia
Riset Demokrasi (RISDEM). (2025, Maret 2). Warna-warni Februari hingga Maret 2025:
Analisis citra politik Presiden Prabowo. RISDEM.
https://www.risdem.or.id/2025/03/warna-warni-februari-hingga-maret-2025.html
Universitas Gadjah Mada. (2023). Social media’s influence on political participation: Insights
from a systematic review and meta-analysis. Jurnal Psikologi, 50(3).
https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/101469
Yunitasari, D. (2024, Januari 24). Media sosial pengaruhi preferensi politik masyarakat. IDN
Times. https://www.idntimes.com/news/indonesia/media-sosial-pengaruhi-preferensipolitik-masyarakat-00-11sj5-vybq7s
Zempi, C. N., Kuswanti, A., & Maryam, S. (2023). Analisis peran media sosial dalam
pembentukan pengetahuan politik masyarakat. Ekspresi dan Persepsi: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 6(1), 116–123. https://doi.org/10.33822/jep.v6i1.5286
