Oleh Aizarafafa
Penggiat Literasi
Bulan Agustus 2025, kesabaran rakyat Indonesia mulai habis. Di tengah kesulitan mencari sadang pangan dan papan, mereka menyaksikan para penjabat korupsi, pamer harta, pamer gaji di depan para rakyatnya.
Gen Z mulai sadar politik dan menuntut perubahan atas ketidakadilan, mereka didholimi oleh para pemimpin yang bersembunyi di balik janji manis mereka dulu. Mereka bergerak, demo menyuarakan suara rakyat yang tak kunjung didengar oleh para pemimpin.
Tapi Faktanya Polisi menetapkan 295 anak sebagai tersangka kerusuhan demo di berbagai wilayah di Indonesia. Komnas HAM mengingatkan adanya potensi pelanggaran HAM dalam penetapan anak-anak sebagai tersangka anarkisme, karena proses penyelidikan sarat ancaman dan intimidasi.
Demo sejatinya suara rakyat, tapi mengapa sering berubah menjadi rusuh? Ada tangan gelap yang sengaja bikin ricuh: provokator.
Demokrasi-kapitalisme hanya memberi ruang pada suara yang sejalan, sementara yang mengancam akan dijegal atau dikriminalisasi. Provokasi selalu punya wajah lama dalam cerita baru.
Di perang Jamal, satu anak panah yang dilepas tanpa komando cukup untuk menyalakan api perang. Dua pihak yang semula ingin berdamai, tiba-tiba merasa diserang. Damai pun runtuh, darah pun tumpah.
Di perang Shiffin, mushaf dijunjung tinggi di ujung tombak. Seolah panggilan suci, padahal jebakan licik. Pasukan Ali terpecah, sebagian tunduk, sebagian ragu. Fitnah pun membelah umat. Kini, pola itu kembali berulang. Aksi yang dimulai dengan damai, berubah jadi kerusuhan karena ulah provokator. Aspirasi rakyat direbut, dan yang tertinggal hanya stigma: perusuh, anarkis, kriminal.
Psikologi menyebutnya teori kerumunan: ketika manusia larut dalam massa, akal sehat melemah, identitas pribadi hilang, emosi kolektif mengambil alih. Satu percikan kecil mampu membakar ribuan hati. Provokator tahu persis cara kerjanya. Mereka tak butuh banyak, hanya satu langkah, satu kata, satu panah liar. Sejarah Jamal dan Shiffin bukan sekadar cerita lama, tapi cermin rapuhnya persatuan, betapa mudah umat diadudomba, betapa licik mereka yang mencari hidup dari fitnah. Pemuda adalah tonggak perubahan; kesadaran politik mereka harus diarahkan pada perubahan hakiki menuju Islam kaffah.
Islam mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk mengoreksi penguasa ketika berbuat zalim, bukan malah membungkam suara kritis. Khilafah membentuk pemuda dengan pendidikan berbasis akidah Islam sehingga kesadaran politik mereka terarah untuk memperjuangkan rida Allah, bukan sekadar luapan emosi seperti anarkisme. Alhasil, demo saja tidak cukup; sering dibajak provokator & dijegal sistem demokrasi.
Kesadaran politik Gen Z harus diarahkan ke perubahan hakiki. Bukan sekadar protes, tapi perjuangan sistem Islam kaffah (khilafah) yang membina pemuda agar kritis, berani menegur penguasa zalim, dan memperjuangkan keadilan sejati.