![]() |
Penulis: Naufal Muttaqin Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Andalas |
Pemilihan umum adalah momen krusial bagi masyarakat untuk menyalurkan hak politik. Namun, fenomena golput (golongan putih), yaitu keputusan untuk tidak menggunakan hak pilih, selalu muncul dalam setiap pesta demokrasi. Pada Pemilu 2024, meskipun partisipasi nasional tergolong tinggi, golput tetap menjadi sorotan, terutama di daerah seperti Sumatera Barat. Fenomena ini menarik untuk dikaji dari sudut pandang psikologi, khususnya teori pengambilan keputusan yang menjelaskan proses individu sampai pada keputusan untuk memilih atau golput.
Pengambilan keputusan dalam pemilu tidak hanya didorong oleh logika rasional, tetapi juga oleh emosi, norma sosial, persepsi terhadap sistem politik, dan pengalaman pribadi. Teori bounded rationality menjelaskan bahwa manusia seringkali tidak sepenuhnya rasional. Keterbatasan informasi, waktu, dan bias kognitif membuat individu mengambil keputusan yang "cukup baik", alih-alih yang optimal. Akibatnya, banyak pemilih hanya memilih berdasarkan rekomendasi orang lain, atau justru tidak memilih karena merasa bingung dan tidak percaya pada kandidat.
Keputusan untuk golput umumnya disebabkan oleh rendahnya minat politik, apatisme, dan ketidakpercayaan terhadap sistem politik. Penelitian oleh Sifahtullah Hamid dan kolega (2022) di Padang Pariaman, Sumatera Barat, menemukan bahwa sekitar 44,41% responden golput karena kecewa terhadap janji politik, tidak mengenal calon, atau skeptis terhadap hasil pemilu. Rendahnya kepercayaan pada lembaga politik juga mengurangi niat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Selain itu, banjir informasi yang kontradiktif di era digital turut memengaruhi keputusan politik. Masyarakat dihadapkan pada informasi kampanye, opini publik, dan propaganda politik yang sering kali bertentangan. Akibatnya, sebagian pemilih merasa lelah dan kehilangan minat untuk mengolah informasi, sehingga keputusan termudah adalah tidak memilih. Keadaan ini diperparah oleh heuristic bias, di mana individu menggunakan jalan pintas mental dalam mengambil keputusan, seperti mengikuti pilihan orang terdekat atau menolak seluruh pilihan karena merasa tidak ada yang layak dipercaya.
Tingkat partisipasi pemilih di Sumatera Barat masih sedikit di bawah rata-rata nasional. Pada Pemilu 2014, partisipasi di Kota Padang hanya sekitar 61%, sementara rata-rata nasional mencapai hampir 70%. Meskipun meningkat pada Pemilu 2019 dan 2024, golput tetap menjadi tantangan besar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah telah berupaya melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat, namun hasilnya belum maksimal, terutama di kalangan anak muda dan perantau yang merasa jauh dari isu politik di daerah asal.
Masalah golput tidak bisa diselesaikan hanya dengan ajakan moral. Banyak orang golput bukan karena malas, tetapi karena merasa suaranya tidak berpengaruh atau kecewa dengan kondisi politik. Oleh karena itu, pendidikan politik yang efektif menjadi sangat penting. Pendidikan politik bukan sekadar menjelaskan cara mencoblos, tetapi juga menumbuhkan pemahaman bahwa setiap suara individu memiliki arti besar.
Namun, golput tidak selalu berarti apatis. Terkadang, keputusan untuk tidak memilih adalah bentuk ekspresi politik atau protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil atau tidak mewakili aspirasi rakyat. Golput bisa menjadi sinyal adanya jarak psikologis antara masyarakat dan penguasa, yang pada faktanya bersifat negatif dan harus dihilangkan.
Dari sisi psikologis, keputusan seseorang untuk golput dipengaruhi oleh pikiran (misalnya merasa suaranya tidak berpengaruh), emosi (seperti kecewa atau tidak percaya pada politik), dan lingkungan sosial (seperti teman atau keluarga yang juga tidak memilih). Meningkatkan partisipasi pemilih berarti membangun kembali kepercayaan terhadap sistem politik. Demokrasi yang sehat bukan hanya diukur dari banyaknya suara yang masuk, tetapi dari seberapa sadar masyarakat terhadap arti keputusan mereka, termasuk keputusan untuk tidak memilih.
Referensi
- Kartini, D. S., Putra, M. D. A., & Zainudin, A. (2025). Decision-making process in voting during the 2024 election in Indonesia (A Study in Bandung Regency). Frontiers in Political Science.
- Hamid, S., Al Rafni, Suryanef, & Hasrul. (2022). Penyebab golput pada Pilkada tahun 2020. Journal of Education, Cultural and Politics (JECCO), Universitas Negeri Padang.
- Yahya, N. K., et al. (2024). Voting Behavior Patterns of Gen Z in the 2024 Indonesian Election. Jurnal Dinasti Research.
- Nurdin, A. (2023). Understanding Voting Behavior Models: A Critical Review. ResearchGate.
- Satriadi, Y., Yusuf, S., & Ali, R. (2021). Understanding the Voter’s Behavior as an Effort to Increase Publics’ Political Participation in Indonesia. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences.
- KPU Kota Padang. (2022). Strategi KPU Kota Padang dalam Meminimalisir Perilaku Golput. JECCO, Universitas Negeri Padang.