Oleh Heni ruslaeni
Aktivis Muslimah
Di tengah gejolak ekonomi global yang lesu dan gelombang PHK yang tak kunjung surut, kaum muda menghadapi kenyataan pahit di dunia kerja. Salah satu gejala yang marak terjadi adalah “job hugging”—kecenderungan pekerja untuk tetap bertahan di satu pekerjaan meskipun sudah tidak lagi menemukan minat atau motivasi di sana. Mereka memilih bertahan bukan karena cinta profesi, melainkan demi keamanan finansial dan rasa aman di tengah pasar kerja yang tidak pasti. Detikfinance.com (20/9/2025)
Guru Besar UGM menyebut fenomena ini sebagai konsekuensi ketidakpastian pasar kerja. Lulusan perguruan tinggi lebih memilih “asal bekerja” daripada menjadi pengangguran intelektual. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat dan berbagai negara lain. Ini menunjukkan ada persoalan struktural yang melampaui batas negara.
Pada saat yang sama, kita menyaksikan paradoks sosial yang tak kalah memprihatinkan. Di era digital yang seolah menghubungkan semua orang, banyak orang justru merasa kesepian—fenomena yang dikenal dengan istilah “lonely in the crowd”. Riset mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY menemukan bahwa pengguna TikTok sering mengalami kesepian meskipun sangat aktif di dunia maya. Melalui teori hiperrealitas, mereka menjelaskan bahwa representasi digital yang dianggap lebih “nyata” ketimbang realitas, ternyata dapat menggerus kualitas hubungan sosial di dunia nyata dan memengaruhi kesehatan mental.
Kedua fenomena tersebut—job hugging dan lonely in the crowd—sesungguhnya tidak lahir dari ruang hampa. Keduanya merupakan buah dari sistem kapitalisme global yang kini mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan.
Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan penarik pajak, sementara tanggung jawab menciptakan lapangan kerja diserahkan kepada sektor swasta. Akibatnya, ketahanan ekonomi rakyat menjadi rapuh. Praktik ekonomi yang bersifat non-riil, seperti perdagangan uang dan spekulasi, lebih dominan ketimbang sektor produksi yang mampu menyerap tenaga kerja.
Dalam dunia digital, logika kapitalisme juga berlaku. Media sosial dikuasai korporasi raksasa yang mengejar keuntungan melalui algoritma yang memicu keterikatan (engagement) dan konsumsi konten, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap kesehatan mental atau kohesi sosial. Akibatnya, banyak anak muda merasa terhubung secara daring, tetapi terasing di dunia nyata. Mereka menjadi generasi yang rapuh, kehilangan daya produktif, bahkan abai terhadap problematika umat.
Sistem kapitalis-liberal tidak hanya gagal menyejahterakan rakyat, tetapi juga gagal menumbuhkan kualitas manusia. Pendidikan tinggi diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar, tetapi tidak menjamin adanya pekerjaan yang layak. Negara justru membiarkan industri menguasai sumber daya dan arah pembangunan.
Di sisi lain, sistem sekuler-liberal memisahkan nilai agama dari ruang publik. Akibatnya, tidak ada panduan moral yang kuat dalam mengelola teknologi, termasuk media sosial. Budaya yang tumbuh pun berorientasi pada popularitas dan sensasi, bukan pada akhlak atau kebermanfaatan.
Sejarah mencatat bahwa Islam memiliki pandangan yang berbeda mengenai peran negara dan arah pembangunan masyarakat. Dalam pandangan Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya, termasuk penyediaan lapangan kerja.
Kebijakan dalam sistem Islam (khilafah) mencakup pengelolaan sumber daya alam sebagai milik umum, pembangunan industri yang menyerap tenaga kerja, dan pemberian tanah produktif (ihyā’ al-mawāt), modal, serta keterampilan bagi warga yang membutuhkan. Dengan begitu, pekerjaan bukanlah beban yang harus dikejar rakyat, tetapi hak yang dijamin negara.
Islam juga menempatkan pendidikan dan pekerjaan dalam bingkai ibadah dan keimanan. Mencari nafkah adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar mengejar keuntungan materi. Negara pun melayani rakyat dengan semangat ibadah, bukan sekadar kepentingan politik atau ekonomi.
Dalam menghadapi fenomena lonely in the crowd, Islam mengajarkan pentingnya menjaga hubungan sosial yang sehat dan bermakna. Media sosial hanyalah sarana, bukan pengganti interaksi manusia. Negara memiliki kewajiban untuk mengatur pemanfaatan teknologi digital agar tidak merusak akhlak dan produktivitas generasi muda.
Fenomena job hugging dan lonely in the crowd menjadi cermin bahwa masalah yang kita hadapi bukan hanya persoalan teknis pasar kerja atau literasi digital. Ini adalah krisis sistemik yang lahir dari tata kelola kapitalisme global dan budaya sekuler-liberal yang menyingkirkan nilai-nilai agama dari ruang publik.
Kaum muda membutuhkan sistem yang tidak hanya menjamin pekerjaan, tetapi juga memberi arah dan makna bagi kehidupan mereka. Sistem yang mengakui peran negara sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat, dan menempatkan pendidikan, pekerjaan, dan teknologi dalam bingkai nilai yang benar. Islam menawarkan solusi tersebut. Bukan sekadar konsep spiritual, tetapi juga sistem hidup yang menyatukan politik, ekonomi, dan budaya dalam satu kesatuan yang memuliakan manusia. Wallahu'alam bishawab