![]() |
Oleh: Rizky Saptarindha A.md (Aktivis) |
Kasus HIV di Kota Samarinda kembali menjadi sorotan. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Samarinda mencatat,
sepanjang Januari hingga Juli 2025 saja sudah ditemukan ratusan kasus baru. Angka ini menambah panjang daftar kekhawatiran mengenai penyebaran penyakit menular seksual di kota tepian.
Kepala Dinkes Kota Samarinda, Ismed Kusasih, mengungkapkan bahwa langkah pertama yang dilakukan pihaknya adalah memetakan faktor risiko penularan. Dengan memahami dari mana sumber penularan paling dominan, diharapkan langkah pencegahan dapat lebih tepat sasaran. Selain itu, ia menegaskan pentingnya menghapus stigma negatif terhadap orang dengan HIV (ODHIV). “Seperti Covid-19, kalau mau menekan angka kasus, penanganan harus dimulai dari hulunya,” ucapnya.
Ismed menekankan bahwa masyarakat perlu memahami perbedaan antara penyakit dan penderitanya. “Jauhi penyakitnya, bukan orangnya. HIV menular melalui aktivitas seksual, dan semua layanan kita bersifat rahasia,” jelasnya.
Sepanjang periode Januari–Juli 2025, sebanyak 20.613 orang telah menjalani pemeriksaan. Dari angka tersebut, ditemukan 223 kasus baru HIV. Sementara itu, 220 orang yang sebelumnya terdiagnosis masih menjalani pengobatan rutin. Yang lebih memprihatinkan, 63 orang positif HIV yang sudah berkembang menjadi AIDS dinyatakan meninggal dunia.
Jika dilihat dari faktor risiko, hubungan seksual sesama laki-laki (LSL) yang menjadi penyumbang kasus terbanyak penularan HIV. Fakta ini menunjukkan bahwa perilaku seksual masih menjadi pintu utama fenomena penularan HIV di Samarinda.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini mengisyaratkan bahwa HIV bukan hanya soal penyakit, Ada aspek sosial, budaya, dan bahkan sistemik yang menjadi pemicu utama, yang hanya bisa diselesaikan bila ada aturan hidup yang menutup celah dari perilaku menyimpang.
HIV Terus Meningkat
Kasus HIV di negeri ini makin mencemaskan. Data demi data menunjukkan jumlah pengidap terus meningkat, sementara generasi muda justru semakin rentan terjerat gaya hidup bebas. Sayangnya, alih-alih menutup pintu penyebab, kebijakan yang ditempuh negara justru berkutat pada langkah teknis berupa penyuluhan, pembagian alat kontrasepsi, dan terapi medis. Pertanyaannya, apakah itu menyentuh akar masalahnya? Bagaimana mungkin penularan bisa dihentikan sedangkan seks bebas dibiarkan ?
Jika ditelusuri, penyebab utama HIV adalah gaya hidup bebas yang makin marak, misal perilaku seksual yang menyimpang, gonta-ganti pasangan, praktik prostitusi, hingga hubungan sesama jenis. Jadi selama pergaulan bebas terus dianggap “hak individu”, maka pintu penularan penyakit ini akan tetap terbuka lebar.
Di sinilah masalah utamanya yaitu sistem kapitalis liberal yang mengatur negeri ini hanya sibuk memadamkan api, tapi tidak pernah mencabut sumber apinya. Selama demokrasi menjunjung tinggi kebebasan individu, negara akan terus tersandera. Alhasil, perilaku zina, prostitusi, bahkan perilaku menyimpang seperti LGBT mendapat ruang untuk eksis dengan dalih hak asasi manusia. Negara absen memberikan perlindungan dan pencegahan mengakar, padahal kerusakan sosial dan kesehatan sudah nyata di depan mata. tanpa hukuman tegas, tanpa aturan yang melarang pergaulan bebas, angka HIV akan terus menanjak.
Ditambah tidak ada sanksi tegas bagi pelaku zina dan kaum homoseksual, mudahnya akses praktik prostitusi yang bahkan dilindungi hukum dengan label sebagai “pekerja seks”. Akibatnya, masyarakat luas ikut menanggung akibatnya, masyarakat diarahkan hanya untuk menjauhi penyakit atau menjaga jarak dari penderitanya, bukan menutup pintu perilaku yang menularkannya.
Meningkatnya kasus HIV sejatinya adalah bukti rapuhnya peran negara dalam melindungi masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah negara yang seharusnya menjadi pelindung justru membiarkan gaya hidup bebas merajalela atas nama hak asasi? Inilah wajah asli demokrasi sekuler yang menuhankan kebebasan individu, namun abai terhadap keselamatan sosial.
Maka wajar jika penyakit menular seksual terus meningkat, karena akar persoalan dibiarkan tumbuh subur. Lantas, mau sampai kapan umat akan bertahan dengan sistem yang jelas-jelas gagal ini? Bukankah ada sistem Islam telah menyediakan aturan yang mampu menutup rapat pintu penyimpangan sekaligus menjaga kehormatan manusia secara menyeluruh?
Solusi Islam: Menutup Akar Penyebab HIV
Kita butuh negara yang hadir sebagai pelindung, mencegah sebelum penyakit menyebar luas. Dan Islam menempatkan peran negara dengan sangat jelas yakni, mendidik masyarakat dengan iman, mengontrol perilaku sosial, dan menegakkan hukum yang adil. Zina, homoseksual, dan prostitusi diberi sanksi bukan sekadar untuk menghukum pelaku, tapi juga untuk melindungi umat dari bencana yang lebih besar.
Islam memiliki cara khas dalam mencegah penularan HIV, yakni dengan menutup rapat-rapat pintu yang bisa mengantarkan manusia pada perilaku menyimpang. Bukan sekadar mengandalkan vaksin atau obat, tetapi dengan membangun sistem pergaulan yang menjaga kehormatan.
Allah sudah memperingatkan: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya melarang zina, tapi juga melarang segala jalan yang bisa mendekatkan padanya.
Pencegahan ini dimulai dari ketakwaan individu. Seorang muslim dididik sejak kecil agar memahami makna menjaga diri (iffah) dan takut kepada Allah. Dengan kesadaran iman maka generasi akan lebih kuat menahan diri, bukan takut pada penyakit melainkan karena ingin taat. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang pemuda yang meninggalkan syahwatnya karena Allah, kecuali Allah akan mengganti dengan iman yang manis dalam hatinya hingga ia bertemu dengan-Nya.” (HR. Ahmad)
Masyarakat dalam Islam juga punya peran penting. Perintah agar melakukan amar ma’ruf nahi munkar menjadikan masyarakat tidak cuek terhadap penyimpangan. Dalam sejarah, ketika Khilafah masih tegak, praktik zina, homoseksual, dan prostitusi tidak dibiarkan menjadi gaya hidup. Sebaliknya, masyarakat bersama negara menutup celah itu dengan aturan dan kontrol sosial. Inilah “support system” yang membuat umat terjaga.
Negara pun wajib hadir sebagai pelindung, bukan sekadar penyedia layanan medis. Islam menetapkan hukum yang jelas bagi pezina maupun kaum homoseksual. Sanksi ini berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa bagi pelaku) sekaligus jawazir (pencegah bagi masyarakat lain). Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah menjadikan jalan keluar bagi mereka. Jika seorang (pelaku zina) belum menikah, maka ia dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun…” (HR. Muslim). Hukuman ini bukan sekadar memberi efek jera, tapi juga menjaga masyarakat dari kerusakan.
Dengan demikian, solusi Islam menutup akar masalah HIV sejak awal dari membina individu agar bertakwa, menghidupkan kontrol masyarakat, dan menghadirkan negara yang menerapkan syariat. Ini jauh lebih kokoh dibanding sistem sekuler yang membiarkan pergaulan bebas lalu sibuk mencari vaksin. Islam tidak anti ilmu medis, tapi menempatkannya dalam kerangka syariat. Maka, selama kebebasan seksual terus dibiarkan, HIV tidak akan pernah berhenti. Hanya dengan penerapan Islam kaffah, jalan menuju penyakit itu benar-benar tertutup.
Maka, solusinya jelas bukan sekadar edukasi “safe sex” atau membagikan alat kontrasepsi gratis, melainkan menutup akar masalah dengan sistem Islam. Hanya dengan penerapan syariat secara menyeluruh melalui negara yang menegakkan hukum Allah maka masyarakat bisa benar-benar terlindungi, baik akhlak maupun kesehatannya. Wallahualam bissawab.