Oleh Ranti Nuarita, S.Sos.
Aktivis Muslimah
Kejahatan zionis makin hari makin menunjukkan kebiadaban yang luar biasa. Tindakan mereka sejak 7 Oktober 2023, yang membombardir Gaza dan wilayah Palestina secara brutal, menunjukkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan sepenuhnya. Bahkan, kekejaman tersebut semakin meningkat hingga hari ini.
Mengutip dari cnbcindonesia.com, Senin (30/06/2025) Di tengah situasi kemanusiaan yang makin genting di Jalur Gaza, serangan udara yang dilancarkan oleh militer Israel kembali menelan korban jiwa, termasuk warga sipil yang sedang mengantre untuk menerima bantuan makanan. Insiden akibat kebiadaban zionis yang berlangsung sejak Minggu hingga 30 Juni 2025 saja, telah menyebabkan sedikitnya 68 orang kehilangan nyawa.
Berdasarkan informasi lain dari total korban tersebut, 47 orang dilaporkan meninggal dunia di Gaza City dan wilayah utara Gaza. Di antaranya terdapat lima warga yang tewas saat berada di dekat lokasi penyaluran bantuan makanan yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang terletak di wilayah utara Rafah.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Palestina, hingga Selasa 1 Juli tahun 2025, sedikitnya 56.647 warga Palestina telah gugur akibat agresi militer zionis di Jalur Gaza sejak Oktober 2023. Salah satu korban terbaru ialah Dr. Marwan al-Sultan yang tidak lain seorang direktur rumah sakit Indonesia di Gaza, beliau meninggal bersama istri juga beberapa anaknya dalam serangan udara pada hari Rabu tepatnya 2 Juli 2025.
Palestina Bukan Sekadar Masalah Kemanusiaan
Bagi sebagian besar masyarakat dunia, tragedi yang terjadi di Gaza dan Palestina mungkin dilihat sebagai isu kemanusiaan. Namun, bagi umat Islam tentunya permasalahan ini jauh lebih dalam. Ini bukan hanya tentang pelanggaran hak asasi manusia atau pengusiran dari tanah air, melainkan upaya sistematis untuk menghapus eksistensi kaum muslim di wilayah tersebut.
Setiap hari, kekejaman yang dilakukan oleh zionis terus berlanjut tanpa henti. Target mereka bukan lagi sekadar objek militer, tetapi menyasar warga sipil, termasuk anak-anak, perempuan, lansia, petugas medis, jurnalis, hingga relawan kemanusiaan. Mereka tampak tidak terpengaruh oleh kecaman global.
Dukungan penuh dari Amerika Serikat membuat mereka merasa kebal hukum, bahkan ketika mereka dikutuk sebagai pelaku kejahatan perang. Hal ini kembali terbukti dalam sesi pemungutan suara Dewan Keamanan PBB pada Rabu, 4 Juni 2025, ketika AS memveto resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera serta pembukaan akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Walaupun masyarakat global mulai bergerak menunjukkan simpati dan solidaritas, para pemimpin dunia tetap bungkam. Tragisnya, sebagian penguasa negara-negara muslim justru masih menjalin hubungan erat dengan entitas penjajah. Mereka lebih mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi bersama AS, bahkan rela menjaga perbatasan dan menjauhi konflik demi stabilitas kekuasaan.
Nasionalisme sempit telah memupuskan rasa persaudaraan sesama muslim. Akibatnya, Palestina dibiarkan berjuang sendirian, kelaparan, dibombardir, dan tak kunjung dibela oleh kekuatan militer dari negara-negara muslim.
Ironisnya, umat Islam yang seharusnya menjadi umat terbaik justru tampak tercerai-berai dan tidak berdaya akibat batas-batas nasional buatan penjajah. Beberapa penguasa muslim tampak kehilangan nurani ketika melihat warga non-muslim menempuh perjalanan jauh demi menembus blokade Gaza, sementara mereka sendiri tetap pasif.
Kecintaan mereka terhadap kekuasaan dan ketakutan kehilangan jabatan membuat mereka abai terhadap ikatan keimanan dan tanggung jawab kolektif. Penyakit “wahn” yakni cinta dunia dan takut mati yang telah mengakar kuat di dalam jiwa mereka.
Padahal harusnya umat juga para pemimpin Islam sadari bahwa masalah Palestina bukanlah tanggung jawab satu bangsa atau kelompok, tetapi merupakan kewajiban seluruh umat Islam. Mengabaikan penderitaan rakyat Palestina berarti mengabaikan kehormatan Masjid Al-Aqsa.
Mendiamkan penjajahan dan pembantaian oleh zionis adalah pengkhianatan besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam urusan kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan, maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam.” (HR. Muslim, No. 2586)
Upaya Mewujudkan Kepemimpinan Islam Global
Penderitaan rakyat Palestina yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade tak akan berakhir hanya dengan mengandalkan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Liga Arab, ataupun Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Ketika lembaga-lembaga ini tidak menunjukkan hasil nyata, lebih sulit lagi berharap pada para pemimpin negara-negara mayoritas muslim yang tunduk pada Barat yang justru menjadi pelindung zionis, meskipun mereka kerap melontarkan retorika diplomatik dan seruan damai.
Gagasan solusi dua negara justru menjadi bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Gaza karena secara tidak langsung melegitimasi penjajahan zionis. Atas dasar itu, sudah saatnya kita kembali kepada ajaran Allah Swt., menyerukan untuk jihad dan menegakkan aturan Islam sebagai sistem kepemimpinan global.
Sebab, hanya itu satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan kaum muslim yang terjajah di seluruh penjuru dunia, yang juga akan berperan menjaga kehormatan umat. Selama ini, banyak dari kita hanya memahami Islam sebatas identitas atau praktik spiritual. Padahal sejatinya Islam juga merupakan sistem kehidupan yang menawarkan aturan lengkap, termasuk pedoman tentang jihad fii sabilillah.
Allah Swt. secara tegas melarang umat Islam untuk berdamai dengan penjajah atau mengakui keberadaan mereka. Firman-Nya dalam Al-Qur’an, “Perangilah mereka di mana pun kamu menemui mereka dan usirlah mereka dari tempat yang telah mereka usir kalian.” (TQS. Al-Baqarah: 191)
Rasulullah saw. juga menegaskan peran penting seorang pemimpin dalam melindungi umat dengan sabdanya, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu adalah perisai.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sungguh hanya adanya kepemimpinan Islam global yang berada dalam bingkai institusi negara dengan khalifah sebagai pemimpin tertinggi. Ia yang akan mengerahkan kekuatan militer untuk mengusir penjajah zionis dari Palestina dan memberikan hukuman atas kejahatan mereka. Rasulullah saw. sendiri telah memberikan teladan ketika beliau mengusir kaum Yahudi dari Madinah karena tindakan pengkhianatan terhadap negara dan kaum muslim.
Tertulis juga dalam tinta emas sejarah Islam, kita juga mengenal Khalifah Al-Mu’tasim yang mengirim pasukan besar demi menyelamatkan seorang muslimah dari gangguan musuh. Begitu pula Sultan Muhammad Al-Fatih, pemimpin muda yang menaklukkan Konstantinopel, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw., “Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang menaklukkannya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad)
Tidak ketinggalan, ada sosok Khalifah Abdul Hamid II yang dengan tegas menolak permintaan kaum Yahudi untuk membeli tanah Palestina. Tentu, sejarah mencatat nama Salahuddin al-Ayyubi, yang berhasil membebaskan Palestina dari pasukan Salib setelah hampir satu abad berada di bawah penjajahan.
Sungguh, sudah saatnya seluruh kaum muslim di berbagai belahan dunia memiliki kewajiban untuk saling menyeru dalam semangat yang sama yakni membangun solidaritas global, memupuk persatuan, serta memberikan dukungan nyata kepada saudara-saudara mereka di Gaza. Umat Islam harus bersatu dalam satu gerakan yang menuntut para pemimpin negeri-negeri muslim untuk memberikan bantuan nyata kepada Palestina, termasuk mengarahkan kekuatan militer yang ada guna berjihad dan memperjuangkan tegaknya institusi kepemimpinan Islam.
Tentunya untuk mewujudkannya dibutuhkan pergerakan umat yang terorganisir dan terarah. Gerakan ini perlu memiliki kepemimpinan yang kuat agar mampu mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan tersebut diemban oleh kelompok dakwah yang berlandaskan ideologi Islam, yang tidak hanya menyerukan jihad dan penegakan kepemimpinan Islam global, tetapi juga melakukan pembinaan dan penyadaran umat secara menyeluruh.
Mereka mengajak umat untuk berjuang bersama dengan mengikuti metode dakwah Rasulullah dalam mendirikan kepemimpinan global tersebut. Kelompok-kelompok dakwah ini harus aktif berinteraksi dengan masyarakat, menyampaikan Islam secara menyeluruh (kafah), serta membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kepemimpinan global Islam. Dengan begitu, umat dapat bersatu dalam perjuangan mewujudkan sistem Islam dalam bingkain isntitusi negara sebagai institusi pemersatu umat yang mampu krisis kemanusiaan termasuk membebaskan Palestina secara tuntas.
Wallahualam bissawab.