![]() |
Oleh: Rizky Saptarindha A.md (Aktivis) |
Opini -- Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kesehatan tengah menggencarkan program imunisasi Human Papilloma Virus (HPV) sebagai langkah pencegahan kanker serviks. Dalam pernyataannya, Kepala Dinas Kesehatan Kaltim, dr. Jaya Mualimin, menyebutkan bahwa hampir seluruh kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV yang ditularkan melalui hubungan seksual. Maka dari itu, vaksinasi HPV dianggap sebagai strategi utama untuk melindungi generasi muda sejak dini.
Pemerintah bahkan menargetkan agar 90 persen anak perempuan usia 15 tahun telah mendapatkan vaksinasi HPV pada tahun 2030. Program ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan, tetapi juga lintas sektor seperti Dinas Pendidikan, Kementerian Agama, dan Dinas Kominfo. Tentu ini menunjukkan bahwa negara serius mendorong vaksinasi ini sebagai langkah “pencegahan dini”. Namun, pertanyaannya: benarkah ini solusi utama untuk menghentikan kasus kanker serviks?
Imunisasi atau Ilusi Pencegahan?
Pemerintah tampaknya begitu yakin bahwa mempercepat imunisasi HPV pada anak-anak usia 12 hingga 15 tahun adalah jalan pintas untuk meredam kanker serviks. Tapi, apakah ini benar-benar menjawab akar persoalan? Atau justru menyimpan bahaya baru yang lebih besar, khususnya bagi masa depan generasi?
Pemerintah secara terbuka mengakui bahwa Human Papilloma Virus (HPV) penyebab utama kanker serviks ditularkan melalui hubungan seksual. Tapi yang justru membingungkan, fokus utama justru diarahkan pada imunisasi, bukan pada penanggulangan akar masalahnya, yaitu pergaulan bebas. Seks bebas dibiarkan tumbuh di tengah masyarakat, bahkan seolah sah-sah saja atas nama “hak pribadi” dan “kebebasan berekspresi”. Negara tidak benar-benar melarang, apalagi menghentikan penyimpangan gaya hidup ini.
Di tengah situasi seperti ini, imunisasi pada anak-anak usia 12 hingga 15 tahun seakan menjadi solusi instan. Padahal, apa gunanya memberi “payung” jika hujan masih dibiarkan turun dengan derasnya? Anak-anak diberi vaksin, tapi lingkungan mereka penuh dengan konten seksual, akses pornografi yang bebas, dan budaya pacaran yang dibungkus rapi dengan label “romantis”. Tanpa kesadaran akan nilai halal-haram, vaksinasi dini justru memberi rasa aman yang palsu. Alih-alih mencegah pergaulan bebas yang jadi sumber utama penularan, negara justru sibuk menyiapkan tameng seperti vaksin untuk menutupi dampaknya.
Hal ini tentu sangat membahayakan. Mereka bisa berpikir: "Saya sudah divaksin, berarti saya aman melakukan hubungan seks." Ini akan semakin menormalisasi zina, memperkuat liberalisasi seksual, dan membuka peluang rusaknya generasi sejak usia belia. Bukannya menekan kasus kanker serviks, justru membuka pintu lebih lebar bagi penyimpangan gaya hidup yang menjadi sumber penyakit itu sendiri.
Inilah dampak ideologi kapitalisme sekuler. Sebuah sistem yang menjadikan kebebasan sebagai nilai tertinggi, termasuk didalamnya kebebasan berperilaku tanpa batasan halal dan haram. Akibatnya, pergaulan bebas dilegalkan, berganti pasangan dianggap hal yang biasa, dan penyakit menular seksual pun merebak. Ironisnya, solusi yang ditawarkan selalu bersifat tambal sulam: imunisasi, kondomisasi, atau edukasi semu yang nihil nilai iman.
Pemberian vaksin HPV di usia dini bukan hanya soal kebijakan kesehatan. Ada dampak lain yang lebih luas dan mengkhawatirkan, mulai dari sisi psikologis anak, ketidaksiapan tubuhnya, hingga ancaman efek samping jangka panjang yang belum sepenuhnya dipahami. Sampai hari ini, belum ada jaminan bahwa vaksin HPV aman dalam jangka panjang, apalagi untuk anak-anak. Beberapa laporan di luar negeri mencatat efek samping serius seperti gangguan imun, bahkan potensi gangguan kesuburan. Tapi karena yang punya kuasa adalah korporasi besar yang sulit di bantah, suara-suara ini kerap kali dibungkam.
Kapitalisme tidak memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki ruh dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tapi melihat manusia sebagai konsumen, pasar, dan komoditas. Maka, selagi gaya hidup bebas bisa mendatangkan keuntungan ekonomi baik dari industri hiburan, pornografi, maupun farmasi maka sistem ini akan tetap membiarkannya bahkan mendukungnya. Tidak heran jika dunia hari ini menyaksikan lonjakan penyakit kelamin, hamil di luar nikah, hingga aborsi, namun yang ditawarkan hanyalah vaksin dan alat kontrasepsi.
Kita tidak sedang menolak teknologi atau ilmu kedokteran. Tapi, yang perlu ditolak adalah paradigma solusi yang tak menyentuh akar. Kita tidak bisa berharap pada sistem yang membiarkan penyebab penyakit tetap tumbuh subur, namun berharap masyarakat tetap sehat. Ini seperti membersihkan luka, tapi membiarkan paku yang melukainya tetap menancap.
Miris rasanya melihat negara tak lagi mampu menjaga rakyat dari kerusakan moral. Di bawah sistem Demokrasi, kebebasan pribadi lebih dijaga ketimbang moral dan keselamatan sosial. Negara seolah lupa bahwa tugasnya bukan sekadar memfasilitasi, tapi juga melindungi.
Solusi Islam: Cegah Sebelum Terjadi
Islam hadir bukan hanya untuk atur ibadah, tapi seluruh aspek hidup, termasuk soal pergaulan. Islam melarang khalwat, zina, menyuruh menundukkan pandangan, menjaga aurat, dan mewajibkan lingkungan yang menumbuhkan rasa malu dan ketakwaan. Ini semua adalah bentuk pencegahan agar kehormatan dan kesucian individu tetap terjaga. Remaja diajarkan untuk memahami makna kehormatan diri, adab pergaulan, dan pentingnya menjaga kemuliaan sebelum pernikahan.
Allah Swt. berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)
Islam juga menetapkan sanksi bukan karena kejam, tapi sebagai bentuk pelindung. Bagi pelaku zina yang belum menikah, Islam menjatuhkan hukuman 100 kali cambuk (QS. An-Nur: 2), dan bagi yang sudah menikah, hukumannya lebih berat: rajam hingga mati. Hadits Nabi pun menegaskan:
“Ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah menjadikan jalan keluar bagi mereka. Jika seorang (pelaku zina) belum menikah, maka ia dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun” (HR. Muslim)
Tentu saja, pelaksanaan sanksi ini dilakukan dalam sistem peradilan Islam yang adil, bukan main hakim sendiri. Tujuannya bukan balas dendam, tapi untuk melindungi dan memberi efek jera bagi masyarakat dari penyakit sosial yang mematikan.
Islam juga tidak anti pada sains atau medis. Justru ilmu pengetahuan dihargai, selama tidak bertentangan dengan syariat. Kalau ada metode medis yang halal, aman, dan benar-benar dibutuhkan, maka diperbolehkan. Tapi kalau hanya tambal sulam yang menutupi akar masalah, tentu bukan solusi yang benar. karena dalam sistem Islam memiliki kewajiban memastikan sistem kesehatan yang mencegah penyakit, bukan sekadar mengobati. Pencegahan dilakukan dengan menghapus sumber penyebab, termasuk melarang secara tegas pergaulan bebas, pornografi, dan sejenisnya.
Imunisasi HPV boleh saja dibahas dari sisi medis. Tapi kita tak boleh melupakan bahwa penyakit seperti kanker serviks punya akar moral dan sistemik. Gaya hidup bebas yang dibiarkan oleh sistem sekuler jadi penyebab utamanya. Maka, meski vaksin diberikan, namun jika gaya hidup bebas tetap dilanggengkan, pencegahan tak akan pernah efektif.
Solusi sejati bukan pada vaksinasi massal, tapi pada perubahan sistem hidup secara menyeluruh. Inilah saatnya kembali kepada Islam secara kaffah, menegakkan sistem Khilafah yang akan menerapkan syariat secara sempurna, termasuk dalam menjaga kesehatan masyarakat dari akar penyebabnya.
"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Ma’idah: 45)
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa hanya sistem Islam yang mampu melindungi manusia secara menyeluruh baik jiwa, akal, dan fisiknya. Sebuah sistem yang dibangun di atas ketakwaan dan wahyu Ilahi. Wallahua’lam bissawab.