![]() |
Oleh: Ummu Abiyyu (Pegiat Literasi) |
Di tengah derasnya kebijakan pemerintah yang kerap mengejutkan rakyat, muncul lagi kebijakan baru: pemblokiran rekening pasif (dormant) oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurut Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi rekening nasabah yang tidak melakukan transaksi dalam jangka waktu tertentu. Rekening pasif ini, meski tidak digunakan, tetap dikenakan biaya administrasi dan kerap disalahgunakan untuk menampung transaksi judi online. Selaras dengan itu, pakar kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menilai langkah ini sebagai upaya berani untuk memberantas judi online. PPATK bahkan mengungkap bahwa selama lima tahun terakhir, lebih dari satu juta rekening terindikasi terkait tindak pidana, termasuk 150 ribu rekening hasil jual-beli ilegal dan peretasan.
Namun, kebijakan ini memantik kontroversi. Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Mekeng, menilai PPATK telah melampaui batas dengan mengatur penggunaan uang pribadi warga. Menurutnya, sebagian orang memiliki alasan pribadi menaruh uang di rekening yang jarang digunakan, misalnya untuk tabungan. Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, juga menilai kebijakan ini memicu keresahan publik terkait keamanan keuangan.
Buah Pahit Kapitalisme
Di balik semua narasi “perlindungan” dan “pemberantasan kejahatan”, kebijakan ini sejatinya adalah buah dari sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ini menjadikan rakyat sebagai objek untuk dihisap sebanyak-banyaknya ke dalam roda finansial negara, namun siap disingkirkan jika tidak memberi keuntungan fiskal. Kapitalisme memandang aset warga sebagai bagian dari sistem ekonomi yang dapat dimonitor, dikelola, bahkan dibekukan jika dianggap mengganggu “keseimbangan” atau “keamanan sistem”.
Dalam logika ini, negara bukan lagi pelindung hak rakyat, melainkan aktor ekonomi yang punya kuasa mengambil keputusan sepihak atas harta milik individu. Akibatnya, hak kepemilikan pribadi menjadi rentan terampas hanya karena kebijakan administratif.
Pandangan Islam: Harta Rakyat adalah Amanah
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan kepemilikan pribadi sebagai hak yang dijaga syariat. Negara tidak boleh mengambil atau membekukan harta rakyat kecuali dengan alasan yang sah secara syar’i, seperti kasus pencurian, penipuan, atau perolehan harta secara zalim. Itupun harus melalui prosedur hukum yang ketat, bukan sekadar keputusan sepihak pejabat.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Barang siapa mengambil hak orang lain secara zalim, maka ia akan diseret pada hari kiamat dengan dosa sebesar gunung.” (HR. Bukhari)
Dalam Islam, negara adalah pelayan rakyat, bukan penguasa harta mereka. Sistem ekonomi Islam menjamin keamanan kepemilikan individu sekaligus melindungi masyarakat dari penyalahgunaan, tanpa melanggar prinsip keadilan dan syariah.
Ganti Sistem, Bukan Sekadar Pemimpin
Pemblokiran rekening rakyat bukan sekadar isu teknis perbankan. Ia adalah cermin dari paradigma negara terhadap rakyatnya. Selama negeri ini berlandaskan sistem kapitalisme, kebijakan serupa akan terus berulang, entah hari ini pada rekening, besok pada tanah, atau bahkan pada data pribadi.
Maka, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan adalah: apakah cukup hanya mengganti pemimpin, sementara sistemnya tetap? Sebab selama sistem kapitalisme yang membolehkan perampasan sah ini bercokol, siapapun penguasanya akan tetap berpotensi menjadi ancaman bagi hak-hak rakyat.
Wallahu a’lam bisshawab.