Oleh Rukmini
Aktivis Muslimah
Menjelang HUT RI ke-80, publik dihebohkan dengan pengibaran bendera One Piece yang dianggap sebagai simbol bajak laut. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa hal ini berpotensi memecah belah bangsa berdasarkan masukan dari lembaga intelijen yang mendeteksi upaya sistematis di balik kemunculan simbol-simbol tersebut. Namun, banyak yang menilai bahwa bendera One Piece adalah simbol kebebasan dan solidaritas dalam konteks anime dan manga, bukan sebagai simbol kekerasan atau intimidasi. Beberapa masyarakat melihatnya sebagai ekspresi kreatif anak muda yang merayakan kemerdekaan dengan cara mereka sendiri, sementara yang lain menganggapnya tidak pantas dalam konteks kenegaraan. Dasco mengimbau masyarakat untuk bersatu dan melawan upaya yang dapat memecah belah bangsa, serta menyinggung kemungkinan campur tangan pihak asing yang tidak ingin Indonesia terus maju. MetroTVNews.com (1/8/25)
Seruan mengibarkan bendera One Piece saat HUT RI ke-80 dapat dipandang sebagai bentuk ekspresi kekecewaan rakyat terhadap ketidakadilan dan penindasan yang mereka alami. Cerita One Piece yang mencerminkan perjuangan melawan tirani dan penindasan dapat dianalogikan dengan kondisi di Indonesia, di mana rakyat merasa belum merasakan kemerdekaan sejati akibat kebijakan yang condong ke elit. Akar masalahnya adalah sistem kapitalisme yang melahirkan kesenjangan sosial dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan elite, sehingga rakyat terus mengalami penderitaan dan kehilangan harapan. Dalam konteks ini, mengibarkan bendera One Piece dapat dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan, serta sebagai bentuk protes terhadap sistem yang tidak adil dan tidak berpihak pada rakyat. Dengan demikian, gerakan ini bukanlah bentuk makar, melainkan sebagai bentuk kesadaran kolektif untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu. Merdeka juga berarti bisa berbuat sesuai kehendak sendiri. Oleh karena itu, janganlah memahami kemerdekaan hanya sebatas seremonial tahunan, yang diikuti oleh kemeriahan berbagai lomba yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan arti kemerdekaan itu sendiri. Negeri ini memang sudah terbebas dari penjajahan fisik, tetapi sejak itu pula penjajahan ekonomi dan pemikiran dimulai. Negeri ini menjadi pengekor. Semua kebijakan yang dikeluarkannya atas arahan asing dan aseng.
Sudah saatnya memahami kemerdekaan dengan perubahan mendasar yang mengubah wajah sistem hari ini, yaitu kapitalisme ke arah perubahan hakiki. Perubahan mendasar dengan sistem sahih, syariah Islam secara kafah. Karena selama kapitalisme tetap dipakai sebagai ideologi, dan dijadikan acuan dasar di setiap kebijakannya, Indonesia Merdeka hanyalah slogan tanpa makna.
Maka apa yang sekarang dialami negeri ini, semestinya cukup untuk menyadarkan semua pihak bahwa kemerdekaan yang diperingati setiap tahun hanyalah pepesan kosong. Merdeka bukan sebatas urusan fisik dan teritorial. Tetapi kemerdekaan sejatinya menyangkut hadirnya pemahaman, qanaah, dan aturan yang benar yang diterapkan di tengah umat. Yakni pemahaman, qanaah (benci, rindu), dan aturan Islam yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk.
Benar apa yang dikatakan oleh Ustadz H. Muhammad Ismail Yusanto (Cendekiawan Muslim) bahwa: "Kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam adalah seseorang, atau sebuah masyarakat negara baru bisa dikatakan merdeka secara hakiki, ketika ia bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah dan larangan Allah, serta melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan hukum Islam."
Umat juga semestinya bisa mengambil pelajaran dari apa yang dikatakan Rabi' bin Amir saat menghadap Panglima Perang Adidaya Persia atas perintah oleh Panglima Islam Sa'ad bin Abi Waqqosh. Ketika itu ia ditanya, apa tujuan pasukan Islam datang ke wilayahnya.
Rabi pun menjawab dengan lantang, "Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan terhadap sesamanya kepada penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa dan Mahaperkasa. Dari dunia yang sangat sempit menuju dunia yang sangat luas, serta dari kesewenang-wenangan kepada keadilan, Al-Islam..." (Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, II/401).
Apa yang dikatakan Rabi' bin Amir semestinya wajib dicontoh oleh seluruh komponen umat terutama penguasa, karena itulah rahasia kebangkitan umat Islam. Ketika Islam dipahami menjadi ukuran benci rida, serta diterapkan sebagai aturan kehidupan, niscaya umat Islam akan bangkit menjadi umat terbaik (khairu ummah). Menjadi pemimpin peradaban dan menebar rahmat ke seluruh alam.
Rentang waktu 80 tahun, semestinya menyadarkan umat bahwa sistem kapitalisme, buah dari akal manusia tak akan pernah mampu menghantarkan kebaikan. Alih-alih menyejahterakan, malah menjerumuskan pada kesengsaraan yang berkepanjangan.
Sudah saatnya negeri ini bangun dari tidur panjangnya, bahwa kemerdekaan yang diraih selama ini hanya ilusi. Indonesia Merdeka, hanya bisa diraih dengan menerapkan hukum Islam secara kafah dalam naungan khilafah Islamiyah.
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maidah [5]: 50). Wallahua'lam bishshawab.