![]() |
Oleh: Devi Ramaddani (Aktivis Muslimah) |
Wacana besar untuk menjadikan IKN sebagai wilayah tanpa orang miskin pada tahun 2035 kembali diumbar ke publik. Sebuah target yang tampak ambisius namun sarat tanda tanya. Direktur Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Conrita Ermanto, mengungkapkan bahwa saat ini sedang digodok program percontohan berupa pemanfaatan lahan sebagai demplot usaha bagi masyarakat prasejahtera. Pendekatan yang diusung pun beragam: mulai dari integrated farming, smart farming, urban farming, hingga agroforestry. Tapi pertanyaannya, apakah pendekatan teknis seperti ini betul-betul menyentuh akar persoalan?
(Kompas dot com, 22 Juli 2025)
Bagaimana mungkin kita tidak pesimis melihat kenyataan bahwa Kalimantan Timur wilayah tempat IKN dibangun justru termasuk kategori kemiskinan ekstrem yang meningkat pada tahun 2024 menurut data resmi BPS. Ini jelas berbanding terbalik dengan target “nol kemiskinan” yang dipatok untuk 2035. Dengan kondisi seperti itu, sangat tidak mudah mewujudkan visi besar tersebut. Pernyataan ambisius tanpa perubahan mendasar hanya akan jadi ilusi.
Apalagi, kita tahu bahwa pembangunan IKN sendiri tidak berbasis pada kemandirian negara. Sebaliknya, pendanaannya justru berasal dari swasta dan sangat berharap pada investasi asing. Maka, bagaimana bisa menyelesaikan persoalan besar seperti kemiskinan jika hal mendasar seperti pembiayaan saja tidak mandiri? Realita di lapangan menunjukkan bahwa program semacam ini cenderung tak sesuai kenyataan, lahan terbatas, minat masyarakat pun rendah.
Dalam sistem kapitalis sekuler hari ini, pengentasan kemiskinan sudah sering jadi janji politik, tetapi hasilnya jauh dari harapan. Targetnya pun selalu sama, pemberdayaan keluarga prasejahtera dan UMKM. Padahal, persoalan kemiskinan tidak akan selesai hanya dengan memberdayakan masyarakat kecil, sementara sumber daya yang sesungguhnya besar seperti tambang batu bara dan kekayaan alam lainnya justru diserahkan kepada asing.
Islam menawarkan pendekatan yang jauh lebih mendasar dan menyeluruh. Dengan tata kelola berdasarkan syariat Islam, umat seharusnya optimis untuk bangkit dan memperjuangkan sistem yang memungkinkan kita semua menikmati keberkahan dari langit dan bumi. Islam tidak hanya memikirkan cara menghasilkan, tetapi juga cara membagikan kekayaan secara adil.
Kemiskinan dalam Islam ditangani langsung oleh negara di bawah kepemimpinan Khalifah. Negara bertanggung jawab penuh dalam pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu, seperti makanan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Sistem kepemilikan dalam Islam juga diatur dengan jelas. Ada kepemilikan individu, negara, dan kepemilikan umum. Sumber daya seperti tambang dan kekayaan alam yang saat ini dikuasai asing, dalam Islam wajib dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan umat. Maka sumber daya inilah yang akan digunakan untuk membiayai kebutuhan pokok rakyat, bukan bergantung pada utang atau investasi asing.
Rasulullah ï·º telah mencontohkan bagaimana menangani kemiskinan dengan kepemimpinan yang solutif. Beliau tidak membiarkan masyarakat miskin berjalan sendiri, tetapi justru hadir memberikan pemecahan. Begitu pula para Khalifah sesudahnya yang menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai prioritas negara. Mereka tak mengandalkan proyek kecil, tetapi menerapkan aturan Allah secara menyeluruh.
Karena itu, daripada terus berharap pada sistem kapitalis sekuler yang berkali-kali gagal mewujudkan kesejahteraan, umat Islam sudah semestinya kembali kepada Islam secara kaffah. Hanya dengan penerapan Islam yang utuh, termasuk dalam ekonomi dan kepemimpinan, cita-cita nol kemiskinan benar-benar bisa diwujudkan bukan dalam bentuk janji kosong, tapi dalam realita yang dibuktikan sejarah. Wallahu a'lam bish shawwab