Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan arah berpikir generasi bangsa. Kebijakan kurikulum yang diterapkan di sekolah tidak hanya menentukan kualitas pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai yang akan mengakar dalam diri peserta didik. Karena itu, setiap perubahan kurikulum selalu menimbulkan perhatian dan perdebatan publik. Di tengah berbagai isu kebangsaan, Kementerian Agama (Kemenag) meluncurkan sebuah program baru yang disebut Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), yang digadang-gadang sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual.
Baru-baru ini kembali lagi mencuat sebuah kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti yang dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR yang menyatakan bahwasanya Kementerian Agama Republik Indonesia resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai bentuk wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Peluncuran ini digelar di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Kamis (24/7/2025) malam.
Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar menyebut KBC ini sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.
Nasaruddin dalam siaran persnya mengatakan “Jangan sampai kita mengajarkan agama, tapi tanpa sadar menanamkan benih kebencian kepada yang berbeda. Kurikulum ini adalah upaya menghadirkan titik-titik kesadaran universal dan membangun peradaban dengan cinta sebagai fondasi."
Dia menekankan pentingnya menjadikan cinta sebagai inti dari pendidikan. Menurutnya spiritualitas harus kembali menjadi roh pendidikan, termasuk dalam pendekatan ekoteologi, yakni kesadaran bahwa manusia bukan penguasa atas alam, tetapi bagian dari sistem kehidupan yang saling menjaga.
Kurikulum Berbasis Cinta ternyata dibangun di atas lima nilai utama yang disebut Panca Cinta, yaitu: Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa dan negeri.
Apakah ini solusi atau polemik baru ?
Sekilas kurikulum cinta ini, dari segi penyebutan namanya tampak menawarkan ide yang sangat baik, tapi benarkah yang demikian? Ternyata sama sekali tidak. Bahkan ada bahaya yang mengancam di balik kurikulum ini, di antaranya adalah deradikalisasi sejak dini, dengan segala macam bentuknya. Kurikulum ini juga mengajarkan generasi muslim untuk bersikap keras kepada saudaranya sesama muslim dan lemah lembut kepada nonmuslim. Muslim yang hendak menerapkan syariat islam kaffah, akan diberi label radikal dan ekstrim, dimusuhi, dipersekusi, pengajiannya dibubarkan dll. Sementara untuk nonmuslim, mereka diperlakukan begitu hormat, sangat lembut dan santun, disanjung-sanjung, rumah ibadahnya dijaga, ikut merayakan hari raya bersama-sama dan sebagainya.
Sebenarnya inilah wajah asli dari kurikulum cinta yang berasas sekuler ini, yang memisahkan aturan Islam dari kehidupan. Karena sadar atau tidak justru akan menjauhkan generasi dari aturan agamanya, dan menjadikan akalnya sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu. Mestinya dalam penetapan sumber hukum bukan berlandaskan kepada akal,namun krmbalikan pada hukum Syara', sedangkan dalam masalah akidah baru harus melalui tahap berfikir dengan menggunakan akal, bukan malah sebaliknya.
Sehingga kurikulum ini tidak bisa dijadikan solusi untuk mengatasi krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan tersebut. Justru hal ini akan menambah polemik baru ditengah-tengah masyarakat.
Lalu bagaimana Islam memandang hal ini ?
Jikalau di tinjau Dalam Islam, padahal dalam pandangaan islam terhadap sistem sekularisme adalah ide yang salah dan batil, sehingga itu saja sudah keliru, apalagi kebijakan-kebijakan yang lahir dari sistem ini, pastinya juga keliru dan bahkan akan mengancam keberadaan generasi sebagai agent of change.
Dalam Islam menetapkan kurikulum ini harus berbasis akidah Islam, bukan yang lain. Karena Akidah adalah asas kehidupan setiap muslim, termasuk asas negara Islam. Negara punya kewajiban menjaga akidah rakyatnya di antaranya dengan menjadikan akidah islam sebagai asas atau pondasi. Apalagi dalam Pendidikan yang merupakan bidang strategis bagi masa depan bangsa. Dipendidikanlah para generasi bisa dibentuk kepribadian Islamnya (Syakhsiyyah Islamiyyah), sehingga pola pikir dan pola sikapnya akan menggunakan standar keimanannya yang kokoh.
Ketika akidah atau keyakinan umat sudah kuat, maka mereka akan taat secara totalitas (kaffah) kepada syariat Allah, sehingga mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupannya. Termasuk dalam hal deradikalisasi ini, pastinya ia akan mampu memfilter mana yang itu harus ia tolerir atau mana yang harus ia intolerir. Hal ini tidak akan terjadi ketika dunia saat ini masih menerapkan sistem yang batil tadi, maka oleh sebab itu tidak hanya mengganti orangnya ketika pemilihan penguasa saja, namun juga mengganti sistemnya yakni kembali kepada sistem Islam
Wallahu'alam bishowab