![]() |
Oleh: Ayu Lestari, S.Pd |
Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis kabar “baik”, terkait angka kemiskinan menurun. Berdasarkan data terbaru Maret 2025, jumlah penduduk miskin turun menjadi 9,03% dengan standar kemiskinan ekstrem sebesar Rp20.305 per hari. Sekilas terlihat menggembirakan—seolah hidup masyarakat makin sejahtera. Namun, benarkah begitu kenyataannya?
Faktanya, di tengah gencarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), harga kebutuhan pokok yang kian melambung, dan akses layanan dasar yang makin mahal, klaim penurunan kemiskinan justru terasa absurd. Bagaimana bisa disebut "tidak miskin" jika seseorang hanya hidup dengan 20 ribu per hari? Bahkan, membeli nasi bungkus pun sulit dengan uang sebesar itu.
Masalah utamanya bukan sekadar angka. Masalahnya adalah standar yang dipakai terlalu rendah untuk mencerminkan kenyataan. Angka kemiskinan ekstrem Indonesia masih mengacu pada metode PPP (Purchasing Power Parity) 2017, yakni setara USD 2,15 per hari. Standar ini bukan hanya usang, tapi juga jauh dari konteks kehidupan nyata masyarakat Indonesia saat ini. Di kota besar, bahkan di desa penghasil padi sekalipun, uang sebesar itu tak cukup untuk hidup layak.
Citra Lebih Berharga dari Rakyat
Sayangnya, permainan angka ini bukan hal baru dalam sistem ekonomi berbasis kapitalisme. Pemerintah, alih-alih fokus pada kehidupan nyata rakyat, justru sibuk menjaga wajah manis statistik. Kesejahteraan diukur bukan dari terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, tapi dari laporan kuartalan yang bisa dipoles demi citra baik di mata investor.
Sistem kapitalisme lebih memedulikan persepsi pasar dibanding penderitaan rakyat. Angka kemiskinan bisa diturunkan dengan mengubah definisi. Padahal, kehidupan jutaan orang tetap berjalan dalam kelaparan, utang, dan ketidakpastian. Manipulasi ini menjadikan statistik bukan sebagai cermin realitas, tapi sebagai ilusi massal.
Ironisnya, di balik klaim penurunan kemiskinan, jurang ketimpangan ekonomi justru semakin menganga. Kekayaan nasional lebih banyak dikuasai oleh segelintir elite dan korporasi besar. Sementara itu, mayoritas rakyat berebut remah-remah di tengah kompetisi pasar bebas yang kejam. Akses terhadap pendidikan bermutu, kesehatan berkualitas, dan pekerjaan layak semakin mahal dan langka.
Negara yang Sekadar Jadi Wasit Pasar
Dalam sistem kapitalisme, peran negara tidak lagi sebagai pelindung rakyat, melainkan sekadar pengatur lalu lintas pasar. Negara bertindak sebagai wasit yang berpura-pura netral, padahal aturan mainnya jelas menguntungkan pemilik modal. Bahkan ketika rakyat menjerit, solusi yang ditawarkan tak pernah menyentuh akar masalah. Bantuan tunai sesaat, pelatihan keterampilan, atau program "pengentasan kemiskinan" hanya menjadi perban sementara atas luka yang jauh lebih dalam.
Tidak heran, meskipun program-program bantuan terus berjalan, kemiskinan tetap menjadi masalah struktural yang tak kunjung selesai. Di beberapa wilayah yang justru menjadi lumbung pangan dan garam nasional, seperti Indramayu, masyarakat masih hidup dalam lilitan kemiskinan. Ironi ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam mendistribusikan kekayaan dan memenuhi hak dasar rakyat.
Islam Punya Solusi Hakiki
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan kesejahteraan sebagai angka statistik, Islam melalui sistem Khilafah memandang kemiskinan sebagai tanggung jawab negara secara langsung. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dan tanggung jawab ini bukan berbasis "kemampuan anggaran", melainkan kewajiban syariat.
Dalam Islam, sumber daya alam tidak boleh dimonopoli atau dikomersialisasi oleh swasta. Air, energi, tambang, hutan, dan sumber daya strategis lainnya adalah milik umum dan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat secara langsung. Hal ini membuka peluang besar untuk menjamin pembiayaan kebutuhan dasar rakyat secara menyeluruh, bukan hanya melalui pajak atau utang luar negeri.
Islam juga tidak mengenal standar kemiskinan buatan lembaga internasional. Indikator kemiskinan dalam Islam adalah apakah seseorang bisa memenuhi kebutuhannya dengan layak atau tidak. Jika ada satu orang saja dalam masyarakat yang tidak bisa makan, tidak punya tempat tinggal, atau tidak bisa mengakses pengobatan, maka negara harus turun tangan secara langsung.
Sistem yang Mendidik dan Menyejahterakan
Sistem Islam bukan hanya menjamin kebutuhan materi, tetapi juga membentuk sistem pendidikan dan ekonomi yang mendidik umat untuk mandiri dan bermartabat. Zakat, infak, wakaf, dan distribusi kepemilikan dalam Islam bukan sekadar amal, tapi bagian dari sistem ekonomi yang mengatur perputaran harta agar tidak menumpuk di satu kelompok saja.
Islam juga mendorong kerja dan produksi, bukan spekulasi dan rente. Dengan mengatur mekanisme pasar secara adil, mencegah penimbunan, dan melarang praktik riba, sistem Islam menciptakan ekosistem ekonomi yang sehat. Maka, kemiskinan bukan sekadar ditangani, tapi dicegah sejak akar.
Jangan Terjebak Ilusi Angka
Angka-angka bisa diturunkan, standar bisa diubah, tapi penderitaan rakyat tidak bisa disembunyikan dengan presentasi data. Sistem kapitalisme telah gagal memberi solusi yang adil dan menyeluruh terhadap persoalan kemiskinan. Ia hanya menciptakan ilusi kemajuan, sementara realita di lapangan tetap kelabu.
Sudah saatnya kita melihat ke arah sistem alternatif yang mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki. Islam, melalui sistem Khilafah, menawarkan paradigma ekonomi yang adil, menyeluruh, dan manusiawi. Bukan sekadar mengatur angka, tapi benar-benar menyejahterakan manusia.
Wallahu a’lam bish shawab.