Oleh Rukmini
Aktivis Muslimah
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengambil langkah tegas dan proaktif dengan memblokir sekitar 31 juta rekening dormant untuk mencegah potensi penyelewengan dan kejahatan yang dapat merugikan masyarakat luas. Namun, kebijakan ini menuai protes dan kekhawatiran dari warga karena banyak rekening yang tidak terkait tindak pidana ikut diblokir tanpa proses yang jelas. Setelah melakukan evaluasi menyeluruh dan detail, PPATK membuka kembali jutaan rekening yang tidak terbukti terkait tindak pidana, sehingga masyarakat dapat kembali mengakses dana mereka dengan aman.
Beberapa ekonom memandang pemblokiran rekening dormant sebagai langkah preventif yang baik dan strategis untuk mencegah penyalahgunaan rekening, namun ada juga yang menilai kebijakan ini bermasalah dan kontroversial karena kurang tepat sasaran dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan yang selama ini dianggap aman. Mereka menyarankan agar pemblokiran dilakukan dengan lebih teliti dan berbasis pada analisis mendalam tentang sejarah pergerakan rekening untuk menghindari kesalahan dan ketidakadilan. PPATK menegaskan bahwa tujuan utama pemblokiran adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan nasabah, serta mencegah tindak pidana seperti judi online dan pencucian uang yang dapat merusak stabilitas ekonomi dan keamanan nasional. BBC NEWS INDONESIA (31/7/25)
Kebijakan ini memang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat terkait aksesibilitas dan keamanan dana mereka, terutama bagi mereka yang tidak terlibat dalam aktivitas ilegal. Sebagai lembaga negara, PPATK memiliki peran penting dan strategis dalam mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara. Rekening dormant sering kali disalahgunakan sebagai rekening zombie oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab, sehingga perlu diwaspadai dan ditindaklanjuti dengan kebijakan yang efektif.
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini juga menyinggung tentang sistem kapitalisme sekuler yang seringkali melegalkan pelanggaran terhadap hak kepemilikan pribadi dan mengabaikan prinsip keadilan. Sistem ini menjadikan negara sebagai alat untuk menekan rakyat dan mengambil keuntungan tanpa hak, yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang melindungi hak kepemilikan secara mutlak dan menekankan keadilan serta transparansi dalam setiap kebijakan. Dalam Islam, negara tidak memiliki kewenangan untuk merampas atau membekukan harta warga secara sewenang-wenang tanpa proses hukum yang jelas dan adil. Negara Khilafah justru menjadi raa'in yang akan menjamin distribusi kekayaan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya, sehingga setiap warga dapat hidup dengan aman dan sejahtera.
Islam menekankan prinsip amanah dan keadilan bagi setiap pemegang kekuasaan serta menetapkan sistem hukum yang transparan dan sesuai dengan syariat. Adapun negara boleh mengambil tindakan atas harta rakyat dengan syarat: Pertama, demi kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) yang nyata dan terbukti. Kedua, tidak mendzolimi individu dan mengabaikan hak-hak asasi manusia. Ketiga, didasarkan atas bukti yang sah dan kuat, bukan kecurigaan semata atau asumsi yang tidak terbukti. Pemblokiran tanpa proses hukum yang jelas dan adil melanggar prinsip al-bara'ah al-asliyah (praduga tak bersalah) yang sangat penting dalam sistem hukum Islam.
Dalam Islam, seseorang dianggap bebas tanggung jawab hukum sampai terbukti dengan jelas dan berdasarkan bukti yang kuat. Negara Khilafah menerapkan syariat Islam secara kaffah (komprehensif) sehingga jelas batas antara yang haq dan yang bathil, dan setiap kebijakan diambil dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hal ini melahirkan ketenteraman hidup di dunia dan keselamatan di akhirat bagi setiap warga negara yang taat dan patuh pada hukum Allah. Wallahualam bishawab.