![]() |
Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd. Pemerhati Masalah Sosial dan Politik |
Opini -- Fenomena pekerja anak di Balikpapan, Kalimantan Timur masih marak, dengan banyak anak usia sekolah yang terpaksa berjualan di jalanan hingga larut malam.
Kondisi ini dipicu oleh lemahnya peran keluarga dan faktor ekonomi, sehingga diperlukan langkah serta edukasi kepada orang tua untuk melindungi hak belajar dan tumbuh kembang anak.
Anggota Komisi IV DPRD Balikpapan, Iim, menyuarakan keprihatinannya terhadap fenomena pekerja anak yang masih ditemukan di jalanan kota. Pernyataan ini disampaikan Iim pada momentum Hari Anak Nasional 2025 sebagai bentuk kepedulian terhadap hak-hak anak yang seharusnya dilindungi. Menurut Iim, banyak anak usia sekolah yang terpaksa bekerja di jalanan, bahkan sebagian di antaranya dikelola oleh pihak tertentu.
Ia menilai fenomena ini terjadi karena lemahnya peran keluarga dalam memastikan anak-anak dapat menikmati masa kecil mereka tanpa dibebani pekerjaan.
Kondisi ekonomi keluarga juga disebut sebagai salah satu faktor penyebab anak-anak diminta membantu mencari nafkah.
Pemerintah Kota Balikpapan melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) sudah melakukan pembinaan terhadap anak-anak yang terjaring razia. Namun, Iim mengungkapkan bahwa anak-anak tersebut sering kembali berjualan setelah razia dilakukan.
Iim menekankan bahwa fenomena ini menunjukkan perlunya tindakan serius untuk mengatasi pekerja anak di Balikpapan. Ia menambahkan, edukasi kepada orang tua harus diperkuat agar mereka memahami pentingnya hak belajar dan tumbuh kembang anak. (Sumber: share.google/xRhRDkTnHc7qqQytm)
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof. Nunung Nurwati menyatakan, keberadaan pekerja anak menimbulkan masalah luas dan kompleks. Membiarkan anak menjadi pekerja, menurutnya, akan membentuk SDM berkualitas rendah hingga lingkaran kemiskinan. (Kompas, 4-9-2023). Bagi anak, lanjutnya, hal itu akan mengganggu tumbuh kembang dan menghilangkan hak-hak mereka. Menurutnya pula, fenomena ini akibat anak sejak usia dini sudah bekerja bahkan ada yang tidak sekolah. Mereka juga memiliki upah yang rendah. Ketika mereka dewasa, kemungkinan besar akan menjadi tenaga yang tidak berkualitas, bekerja serabutan, dan terus memiliki upah rendah. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan berpotensi terulang kepada anak-anak mereka kelak ketika mereka sudah berkeluarga.
Sulit untuk tidak dikatakan, seremoni jadi terasa kurang berarti. Kondisi anak-anak di negeri ini belum bisa dipastikan baik-baik saja. Jumlah pekerja anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena terbelit kemiskinan, tak terkecuali orang dewasa, anak-anak pun ikut memikirkan. Anak-anak dituntut bekerja untuk membantu penghasilan orang tua. Resiko pada mereka ialah hilangnya masa belajar dan rentan menjadi korban tindakan kriminal.
Tanpa berniat mengecilkan upaya yang sudah diusahakan, dengan berat hati disampaikan, kebijakan yang sudah dijalankan belum benar-benar menyentuh akar persoalan. Problem anak bekerja bukan hanya karena kurangnya edukasi orang tua dan lemahnya peran keluarga. Tetapi permasalahannya sudah bersifat sistemik, sehingga wajar lah solusi parsial tak bisa menguraikan.
Kehidupan yang dilandaskan pada sistem kapitalisme sememangnya tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan dasar individu, termasuk anak. Bukti nyata yang jelas terindera adalah makin banyaknya keluarga miskin.
Berat untuk disangkal, negara dalam sistem kapitalisme telah gagal menjadi penanggung jawab pemenuhan segala kebutuhan rakyat. Buktinya pekerja anak kian marak. Selama masyarakat terus berkutat dengan kemiskinan, jangan harap pekerja anak tak beranak pinak!
Mengapa tak kunjung memilih sistem Islam sebagai solusi kehidupan? Padahal sistem Islam memfasilitasi para pemimpin keluarga (suami) dalam mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
Kemudian Islam juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi ketika suaminya tidak ada. Jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para perempuan. Anak-anak tidak perlu lagi bekerja membantu orang tuanya. Mereka dapat menuntut ilmu dengan mudah tanpa beban ekonomi keluarga.
Dalam pemenuhan pendidikan, Islam mengharuskan negara bertanggung jawab penuh menyediakan akses pendidikan gratis untuk semua kalangan. Tidak akan ada ditemukan seorang anak yang putus sekolah, apalagi disebabkan tidak memiliki biaya dalam pendidikan. Anak-anak tumbuh dengan baik tanpa kekurangan apa pun. Ketika keluarga sejahtera, sejahtera pula anak-anak mereka.
Perhatian yang diberikan negara disebabkan takutnya para penguasa tentang Hari Pembalasan bahwa Allah Taala akan meminta segala pertanggungjawaban atas kepemimpinan mereka.
Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka.” (HR Abu Daud).
Tidak ada orang tua yang tidak mendambakan anak-anak yang saleh, taat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi sesama, serta mampu menjadi pembela agama-Nya.
Di dalam Al-Quran dinyatakan, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan [25]: 74). Selama sistem kapitalisme masih terus dijadikan landasan kehidupan, selama itu pula problematika pekerja anak tak akan pernah bermuara pada penyelesaian. Semoga segera timbul kesadaran di tengah masyarakat, hanya sistem Islam yang mampu menyolusi keadaan. Wallahualam.