![]() |
Penulis: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Peduli Generasi) |
Pembangunan di IKN terus dikebut agar segera menjadi kota masa depan yang inklusif, siap beroperasi dan siap di huni. Oleh karena itu, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) berkomitmen untuk mewujudkan semua itu dengan membuka pintu investasi. Pembangunan berkelanjutan di IKN akan dilaksanakan di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim. Harapannya Otorita IKN dapat memperkuat kerja sama regional dan membuka lebih banyak peluang investasi dari negara tetangga.
Hal ini penting dilakukan oleh Otorita IKN karena sangat dibutuhkan untuk percepatan pembangunan di IKN. Otorita IKN juga mengedepankan kemudahan berusaha dan berkomitmen membangun IKN sebagai kawasan percontohan birokrasi yang efisien dan adaptif terhadap kebutuhan dunia usaha. Menjadikan IKN bukan sekedar sebagai ibu kota baru, melainkan sebagai katalis integrasi kawasan, tempat di mana negara-negara Asia Tenggara dapat tumbuh bersama dalam ekosistem yang hijau, inovatif, dan inklusif.
Sebelumnya di bulan Mei 2025, ada enam perusahaan swasta menandatangani perjanjian kerja sama untuk berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), dengan total nilai investasi mencapai Rp3,65 triliun. Penandatanganan ini berlangsung pada Rabu (21/05/2025) di Kantor Otorita IKN yang baru beroperasi 3 bulan ini di Nusantara. Keenam perusahaan yang menandatangani kerja sama berasal dari sektor kuliner, perhotelan, pendidikan, ritel, konstruksi, hingga properti komersial dan residensial.
Sampai saat ini tercatat investasi dalam negeri yang telah berjalan untuk pembangunan IKN pada sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, hingga kini mencapai lebih kurang Rp 65,73 triliun.
Selain itu ada investasi melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sektor hunian mencapai sekitar Rp 63,3 triliun, serta sektor jalan terowongan multi utilitas (MUT) kisaran Rp71,8 triliun. Perusahaan yang tertarik untuk terlibat dalam dalam pembangunan IKN tersebut berasal dari dalam maupun luar negeri.
Adapun anggaran pembangunan IKN sekitar Rp 466 triliun dan dilakukan dalam beberapa tahap. Pendanaan ini bersumber dari APBN dan non-APBN. Tahap pertama (2020-2024) fokus pada pembangunan infrastruktur dasar seperti kantor pemerintahan dan bendungan, dengan progres mencapai 61,7%. Tahap kedua (2025-2035) akan melanjutkan pembangunan dan menjadikan IKN sebagai kota yang fungsional.
Ekonomi kapitalis: Investasi Asing, Penjajahan ekonomi Gaya Baru
Besarnya anggaran dan berbagai persoalan internal yang ada sangat menarik untuk dicermati. Pro kontra terus mengiringi pembangunan IKN hingga saat ini. Tarik ulur masuknya investor mewarnai perjalanan pembangunan IKN. Konflik tanah serta pendanaan yang sangat tergantung pada luar melalui jalur investasi harusnya menjadi sebuah pertanyaan, ini memang kebutuhan rakyat atau untuk kepentingan siapa ?
Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, investasi swasta/asing merupakan keharusan dan menjadi salah satu sumber utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak aneh, banyak negara di dunia berlomba-lomba membuka dan membebaskan pintu ekonomi mereka serta memberikan tempat senyaman mungkin bagi para investor. Meskipun tak sedikit mengorbankan masyarakat.
Tentunya masih ingat, Presiden telah menerbitkan Perpres No. 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Kamis, 11 Juli 2024. Pada pasal 9 beleid tersebut, disebutkan pemerintah mengobral Hak Guna Usaha (HGU) dengan jangka waktu hingga 95 tahun, bisa diperpanjang hingga dua siklus. Artinya, pemodal memiliki hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara di IKN sampai 190 tahun. Siapa yang diuntungkan?
Adanya pintu masuk bagi investor swasta dalam pembangunan IKN membuktikan bahwa negeri ini begitu “ngotot” memaksakan kehendaknya di saat pembangunan infrastruktur urgent lainnya terabaikan. Bisa dilihat bagaimana banyaknya kondisi jalan dari ujung desa hingga di kota yang rusak serta bangunan sekolah tak layak. Kasus gizi buruk, rumah-rumah yang tak layak huni hingga tak ada tempat tinggal.
Lantas, untuk siapa pembangunan ini? Benarkah masyarakat butuh adanya pemindahan ibukota negara? Miris hati melihat di IKN dengan proyek-proyek jalan tol, jalan-jalan yang mulus, gedung-gedung perkantoran megah di bangun dengan lampu-lampu yang terang benderang. Siapa yang menikmati di saat jutaan anak negeri tak mendapatkan cahaya listrik dan tempat tinggal yang layak? Tidak menolak pembangunan, akan tetapi bijak dalam mengukur kemampuan dan urgensinya pindah ibu kota.
Pembangunan yang didasari pada investasi swasta atau pun asing sesungguhnya akan banyak menimbulkan dampak negatif yakni penjajahan ekonomi di segala bidang yang dapat melemahkan kedaulatan negara. Negara akan mudah disetir sesuai kepentingan investor atau kepentingan kapitalis swasta.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler, di mana negara hanya sebagai regulator untuk para kapitalis. Membuka kran investasi sebesar-besarnya dengan tangan terbuka tanpa melihat apakah akan merugikan rakyat atau tidak. Selain itu negara atau masyarakat dalam sistem kapitalisme akan berinvestasi dengan prinsip-prinsip kebebasan sepanjang memberikan keuntungan, riba salah satunya. Di mana-mana ada bunga dan denda yang semuanya adalah riba. Padahal jelas bahwa riba adalah haram.
Tidakkah menjadi pelajaran, bahwa negara maju tidak dilihat dari aspek pembangunan fisiknya saja tetapi pembangunan mental dari masyarakat dan pejabatnya.
Islam memandang investasi
Islam tidak melarang investasi akan tetapi dengan syarat bahwa investasi tidak memberikan penguasaan non-muslim terhadap kaum muslim.
Allah berfirman:
“Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin” (QS an-Nisa’ [4]: 141)
Dalam berinvestasi maka wajib terikat pada syariah. Kegiatan investasi termasuk kategori ”tasharrufat” yang dinilai adalah kesesuaian perbuatannya dengan syariah Islam saja. Berbeda dengan amal ibadah mahdhoh yang mengharuskan niat yang benar dan pelaksanaan sesuai dengan aturan syariat Islam.
Oleh karena itu, maka setiap orang yang terlibat dalam muamalah termasuk kegiatan investasi harus memahami prinsip-prinsip dalam syariah Islam. Ketika bermuamalah dengan non-muslim pun tetap harus bersandar pada syariat Islam. Apa yang dilarang oleh syara maka terlarang untuk dilakukan. Ini akan bisa terkawal dengan baik ketika negara juga menerapkan hal yang sama saat menerima investor dari luar.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab Ra pernah berkeliling di pasar dan memukul sebagian pedagang yang tak memahami syariah dan berkata:
”Janganlah berjualan di pasar kami, kecuali orang yang telah memahami agama. Jika tidak, maka ia akan memakan riba, sadar atau tidak”
Ini menyiratkan bahwa siapa pun yang masuk dalam wilayah kita dan akan bertransaksi maka harus mengikuti aturan yang sudah diterapkan termasuk dalam pengembangan sebuah wilayah. Semakin jelas bahwa dalam Islam pembangun yang dilakukan adalah untuk kemaslahatan masyarakat. Peran negara sebbaggai perisai bagi rakyat akan terwujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.