Oleh Heni Ruslaeni
Aktivis Muslimah
Dikutip oleh media online Galamedianews pada hari Rabu (16 Juli 2025), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung menghibahkan 4,2 hektar lahan untuk pembangunan tujuh unit sekolah baru jenjang SMA dan SMK Negeri. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Bandung, khususnya dalam indikator pendidikan seperti rata-rata lama sekolah.
Bupati Bandung, Kang DS, dalam pernyataannya juga meminta kompensasi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat atas hibah lahan tersebut, baik dalam bentuk lahan pengganti maupun program strategis lainnya, bahkan menyebut rencana pembangunan Bandung Convention Center di Tegalluar. Hal ini mengindikasikan adanya pola “bargaining” antar instansi, yang berpotensi menyeret kepentingan pendidikan ke dalam politik proyek, bukan semata pelayanan publik.
Fakta bahwa sekolah-sekolah tersebut baru akan dibangun sekarang juga menunjukkan adanya kekurangan sarana pendidikan menengah di wilayah Kabupaten Bandung, terutama di kecamatan seperti Arjasari, Cimaung, dan lainnya. Padahal, membangun dan menyediakan sekolah adalah kewajiban negara, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Undang-undang turunannya.
Langkah Pemkab Bandung ini patut dicatat sebagai inisiatif daerah yang tidak hanya menunggu kebijakan atau anggaran dari pemerintah pusat atau provinsi. Namun, jika IPM dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan, maka ada risiko munculnya program pendidikan manipulatif, seperti pelatihan singkat atau sertifikasi semu hanya untuk menaikkan angka statistik, bukan kualitas pendidikan yang sebenarnya.
Dalam sistem sekuler yang diterapkan saat ini, pendidikan kerap dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja di pasar global, bukan sebagai proses membentuk kepribadian utuh berdasarkan akhlak dan ilmu yang benar. Akibatnya, pendidikan lebih sering diperlakukan sebagai investasi jangka panjang daripada sebagai hak dasar rakyat. Keterbatasan anggaran negara juga menyebabkan banyak daerah kesulitan memenuhi kebutuhan pendidikan menengah secara merata dan berkualitas.
Sebaliknya, dalam sistem Khilafah Islamiyah, pendidikan merupakan kebutuhan pokok publik yang wajib disediakan negara secara gratis, merata, dan berkualitas, tanpa diskriminasi lokasi atau latar belakang ekonomi. Negara dalam sistem Islam tidak akan menunggu permintaan warga atau inisiatif pejabat daerah, tetapi secara aktif membangun sekolah di seluruh wilayah sesuai kebutuhan umat.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Islam, negara membiayai pendidikan dari Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan publik yang mengelola dana dari sumber-sumber seperti pengelolaan kekayaan alam, fai, kharaj, dan zakat (khusus untuk fakir miskin). Oleh karena itu, tidak diperlukan skema hibah antar instansi karena seluruh aset negara dikelola langsung untuk kemaslahatan umat. Pendidikan diberikan bukan demi IPM atau kebutuhan tenaga kerja industri semata, tetapi untuk membentuk syakhsiyah Islamiyah — kepribadian Islam yang kokoh, ilmuwan yang berintegritas, dan pemimpin yang bertakwa.
Wallahualam bissawab