![]() |
Oleh : Retri Aulia( Aktivis Dakwah Kampus) |
Kepolisian Republik Indonesia kembali mengungkap praktik kecurangan dalam distribusi pangan yang semakin meresahkan. Kali ini, giliran Polda Riau yang berhasil membongkar kasus pengoplosan beras oleh seorang distributor di Pekanbaru. Dari penggerebekan tersebut, aparat menyita sembilan ton beras oplosan yang dikemas ulang dan dipasarkan sebagai beras premium (Msn dot com, 28/07/2025).
Tak hanya itu, investigasi gabungan antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan juga mengungkap fakta mencengangkan: 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, baik dari segi berat, komposisi, maupun label kemasan. Praktik curang ini menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai hampir Rp100 triliun setiap tahunnya (Kompas dot com, 13/07/2025).
Dalam kasus yang sama, penyidik turut mengamankan 201 ton beras da
Ironisnya, kecurangan ini bukan fenomena baru dan telah terjadi secara masif serta berlangsung lama. Muncul pertanyaan krusial: bagaimana mungkin negara bisa kecolongan hingga praktik ini menjamur? Padahal, regulasi sudah tersedia seperti Permentan 53/2018, Peraturan Bapanas 2/2023, UU No. 7/2014, hingga UU Perlindungan Konsumen No. 8/1999. Namun, tampaknya para pelaku usaha tak gentar menghadapi hukum.
Fenomena ini bukan sekadar soal lemahnya pengawasan atau penegakan hukum. Ia mencerminkan bobroknya sistem tata niaga dalam kerangka kapitalisme sekuler, yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan, dan memberi ruang besar bagi kerakusan ekonomi. Dalam sistem ini, keuntungan menjadi orientasi utama, sementara kepentingan rakyat dikorbankan. Maka tak heran, kasus beras oplosan ini menjadi bab terbaru dari deretan skandal barang oplosan di negeri ini mulai dari bensin, minyak goreng, hingga beras dengan rakyat sebagai korban utamanya.
Akar persoalan ini sangat dalam. Ia berakar dari sistem demokrasi kapitalis yang terlalu longgar memberi ruang kepada pasar dan korporasi, sehingga negara kehilangan kendali. Sektor pangan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat justru diperlakukan sebagai komoditas bisnis semata. Di tengah lemahnya kontrol negara inilah, mafia pangan berkembang pesat dan sulit diberantas. Dan krisis pangan bukan sekadar akibat kelalaian teknis, melainkan cerminan rusaknya sistem ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator kepentingan bisnis, bukan pelindung rakyat. Korporasi besar menguasai rantai pasok pangan dan mampu mengendalikan harga serta kebijakan, membuat negara kehilangan kendali. Oleh karena itu, penyelesaian persoalan ini tidak cukup dengan penambalan hukum atau pengawasan teknis, melainkan memerlukan perubahan mendasar pada sistem yang mengatur kehidupan masyarakat dari sistem kapitalistik yang serakah menuju sistem yang menempatkan amanah, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sebagai poros utamanya.
Sebaliknya, dalam sistem Islam (Khilafah), negara memainkan peran sentral dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk ketersediaan pangan. Pemimpin diposisikan sebagai raa’in, yakni pengurus rakyat yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan mereka. Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam mengajarkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi. Rasulullah saw. juga bersabda, "Siapa yang merasa aman di tempat tinggalnya, sehat tubuhnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia telah diberikan kepadanya.” (HR Tirmidzi). Maka dari itu, negara dalam sistem Khilafah wajib memastikan pangan tersedia, mudah diakses, dan terjangkau bagi seluruh rakyat.
Sistem Islam juga menciptakan individu-individu yang amanah, baik dari kalangan pejabat maupun pengusaha. Mereka dibina melalui sistem pendidikan Islam agar memiliki landasan akidah yang kuat dan menjalankan bisnis sesuai syariat. Pelanggaran seperti penimbunan (ihtikar) akan diberi sanksi tegas berupa hukuman takzir bisa berupa denda, tasyhir (diumumkan ke publik), penjara, bahkan hukuman mati jika merugikan masyarakat secara luas. Ulama Syekh ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menegaskan bahwa pelaku penimbunan harus dipaksa menjual barangnya dengan harga pasar, bukan ditetapkan oleh negara.
Sementara itu, Khilafah tidak menerapkan sistem penetapan harga (tasy’ir) seperti Harga Eceran Tertinggi (HET), sebab hal ini dilarang dalam syariat. Rasulullah saw. pernah menolak permintaan sahabat untuk mematok harga, seraya bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga, memberi rezeki, dan melapangkan. Aku tidak ingin bertemu Allah dengan membawa kezaliman atas darah atau harta seseorang.” (HR Ahmad).
Dengan demikian, solusi tuntas atas carut-marut tata niaga pangan bukanlah tambal sulam kebijakan yang reaktif, melainkan perubahan mendasar pada sistem yang mengatur kehidupan masyarakat. Hanya sistem Islam-lah yang mampu menempatkan rakyat sebagai prioritas utama, bukan korban dari kerakusan ekonomi.