![]() |
Oleh : Yanti Irawati |
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh video yang menampilkan seorang pemulung di Kabupaten Bandung yang memasak potongan daging ayam hasil temuan dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti. Dalam video tersebut, pria bernama Mimin Hasanudin terlihat sedang merebus daging ayam di atas tungku sederhana. Yang membuat banyak orang terenyuh sekaligus marah, ayam yang dimasak tersebut berasal dari sisa makanan yang dibuang oleh toko atau supermarket, kemudian dikumpulkan dari tumpukan sampah. Video ini pertama kali direkam oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang kala itu sedang melakukan kunjungan ke TPA. Ia menemukan langsung keluarga Mimin yang tinggal dalam kondisi serba kekurangan.
Kejadian ini terus berlanjut viral di media sosial dan dalam sejumlah berita di televisi.
Fakta-fakta yang terkuak sungguh menyayat hati. Mimin bukan tinggal sendirian, ia hidup bersama istri dan tiga orang anaknya di sebuah rumah sederhana di Kampung Pasir Luhur, Desa Neglasari, Majalaya. Selama ini, ia menggantungkan hidup dari memulung barang bekas serta sisa makanan. Daging ayam yang ia masak tersebut tidak busuk secara tampilan, namun jelas tidak layak konsumsi. Sayangnya, keterpaksaan membuat pilihan hidup menjadi sesempit itu. Pihak Dinas Sosial Kabupaten Bandung pun turun langsung ke lokasi, melakukan asesmen, dan berjanji akan memberikan bantuan serta dukungan lanjutan. Gubernur Dedi Mulyadi juga secara pribadi memberikan bantuan uang tunai kepada keluarga ini.
Namun apakah kisah ini akan berakhir pada pemberian bantuan sesaat saja? Apakah setelah kamera dimatikan dan berita berhenti viral, kehidupan keluarga Mimin akan berubah secara signifikan? Atau justru mereka akan kembali ke TPA dan mengais sisa makanan di tumpukan sampah?
Kasus ini bukan yang pertama, dan sayangnya, kemungkinan besar bukan yang terakhir. Masih banyak keluarga di Indonesia yang hidup dalam jurang kemiskinan ekstrem. Mereka tinggal di tempat tak layak, tanpa jaminan makanan, pendidikan, apalagi masa depan. Ini adalah potret ketimpangan ekonomi yang tak bisa lagi disangkal. Negara yang katanya kaya sumber daya, justru gagal menjamin warganya untuk mendapatkan hak dasar yaitu makan. Padahal dalam konstitusi sekalipun, negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Kenyataannya? Jutaan rakyat harus bertahan hidup dari sisa-sisa yang dibuang oleh sistem.
Lalu bagaimana Islam memandang peristiwa seperti ini? Islam bukan hanya agama yang mengatur soal ibadah, tapi juga mengatur bagaimana negara bertanggung jawab atas kehidupan rakyatnya secara menyeluruh—ini yang disebut dengan Islam kaffah. Dalam Islam, pemimpin negara bukan sekadar pejabat administratif, melainkan pelayan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah pemelihara dan pengurus rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, jika ada rakyat yang kelaparan, maka dosa dan tanggung jawab itu tidak hanya di pundak si miskin, tapi di pundak penguasa.
sistem ekonomi Islam bisa menjamin kekayaan secara adil. Allah SWT berfirman, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7). Dalam sistem kapitalis, kekayaan cenderung terpusat di segelintir elite, sedangkan rakyat harus berebut remah. dalam islam diwajibkan adanya mekanisme zakat, infak, sedekah, bahkan baitul mal yang mengatur agar harta tidak menumpuk di satu titik. Dalam sistem Islam, kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan bukanlah beban individu semata, tapi tanggung jawab negara.
Lebih dari itu, Islam tidak hanya mendorong pemberian bantuan, tapi juga mendorong proses penguatan dan pembinaan ekonomi bagi orang-orang yang tidak mampu. Negara harus aktif memberikan peluang kerja, memang modal usaha, dan menciptakan sistem pendistribusi kekayaan yang mana setiap warga bisa hidup layak. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan, maka dia tidak beriman.” (HR. Hakim). Ini bukan ajaran sekadar saling mengasihi, tapi menjadi dasar dari sistem sosial Islam yang penuh tanggung jawab.
Solusi Islam kaffah bukanlah angan-angan kosong. Dalam sejarahnya, sistem Khilafah Islam pernah menjamin kebutuhan pokok setiap rakyatnya, bahkan sampai tidak ada lagi yang berhak menerima zakat karena semua telah tercukupi. Negara menjadi pelayan, bukan pedagang. Negara hadir sebagai garda terdepan untuk mrlindungi, bukan hanya pengatur pajak dan pendongeng tumbuh kembang ekonomi.
Kisah pemulung yang memasak ayam dari TPA adalah sinyal keras bahwa sistem hari ini sedang sakit. Rakyat butuh lebih dari sekadar bantuan yang sedikit itu atau janji politik yang basi. Kita butuh sistem yang menjamin hidup manusia dengan bermartabat. Islam kaffah (menyeluruh) menawarkan itu secara menyeluruh dari akidah, ibadah, hingga tata kelola negara dan ekonomi.
Maka dari itu, ayo kita berhenti berpikir bahwa kasus ini adalah hal biasa. Ini bukan “nasib buruk” satu keluarga. Ini adalah hasil dari sistem yang gagal. Saatnya kita mempertimbangkan bahwa solusi sejati bukan datang dari tambal sulam kebijakan, tapi dari perubahan menyeluruh: kembali kepada sistem yang menempatkan manusia sebagai prioritas, bukan angka statistik. Dan itu hanya bisa diwujudkan dengan Islam kaffah yang diterapkan secara total, bukan setengah setengah.