![]() |
Oleh. Ummu Aini (Pegiat Dakwah) |
Kampanye “Selamatkan Raja Ampat” kembali mencuat, menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi sumber daya alam di wilayah yang dikenal sebagai “surga terakhir di bumi”. Aktivitas tambang nikel di kawasan tersebut dikhawatirkan merusak ekosistem laut dan hutan tropis, serta mengganggu kehidupan masyarakat adat.
Dalam ajang Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 yang digelar di Jakarta pada 3 Juni 2025, Greenpeace bersama perwakilan Masyarakat Adat Papua menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi nikel. Mereka menekankan bahwa aktivitas pertambangan telah membawa dampak merusak bagi lingkungan alam maupun tatanan sosial masyarakat setempat ( mongabay.co.id, 04-06-2025).
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), saat ini terdapat 380 izin usaha pertambangan nikel dengan total luas hampir 1 juta hektar. Namun, alih-alih menyejahterakan masyarakat, tambang justru memperparah kerusakan lingkungan dan memperdalam kemiskinan (dokumen.jatam.org, 24-06-2024)
Berdasarkan data, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat deforestasi akibat aktivitas pertambangan tertinggi di dunia. Dari 26 negara yang dianalisis, Indonesia menyumbang 58,2% kehilangan hutan tropis, terutama selama rentang waktu 2010 hingga 2014, dan tren kerusakan tersebut masih berlangsung hingga kini. Hal ini diperparah dengan izin yang diberikan pemerintah kepada korporasi tambang, bahkan di kawasan konservasi ( www.pnas.org , 12-09-2022)
Jika ditelusuri secara mendalam sungguh kerusakan ini berakar pada penerapan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan kekayaan alam sebagai komoditas. Dalam sistem ini, segelintir oligarki menguasai kebijakan dan sumber daya melalui pengaruh politik dan ekonomi. Pemerintah justru menjadi fasilitator kepentingan para pemilik modal. Demi pertumbuhan ekonomi dan investasi, hutan, laut, serta hak masyarakat adat dikorbankan.
Oligarki adalah produk dari Kapitalisme. Mereka menggunakan kekuasaan dan jaringan politik untuk mengamankan kepentingan ekonomi mereka, termasuk dalam sektor pertambangan. Lobi politik, media, dan kekuasaan digunakan untuk mempertahankan dominasi dan menghindari tanggung jawab terhadap kerusakan ekologis.
Hasilnya adalah kerusakan besar-besaran: hutan gundul untuk tambang dan perkebunan, pencemaran udara dan air, pemanasan global, serta rusaknya keanekaragaman hayati. Dalam banyak kasus, korporasi raksasa menguasai tanah luas, mengusir petani kecil dan masyarakat adat, sementara negara justru melindungi kepentingan korporasi.
Kerakusan oligarki ini juga melahirkan ketimpangan sosial, konflik agraria, dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Bahkan, mereka turut andil dalam memicu krisis iklim global. Meski begitu, kerusakan ini dibiarkan karena oligarki memiliki akses langsung terhadap kekuasaan hukum dan politik.
Padahal Allah Swt. dengan tegas melarang kerusakan di muka bumi setelah bumi itu diperbaiki. Dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 56 dan Ar-Rum ayat 41, Allah menyebut bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat ulah tangan manusia. Bencana seperti banjir, longsor, dan pencemaran adalah konsekuensi dari kemaksiatan dan kesalahan sistemis yang tidak sesuai dengan syariat-Nya.
Ironisnya, proyek tambang nikel ini dibungkus dengan narasi “transisi hijau”, padahal jelas-jelas metode penambangannya merusak alam. Ini adalah wajah asli kapitalisme membungkus perusakan dalam jargon pembangunan.
Apa yang terjadi dalam sistem kapitalisme sangat berbanding terbalik dengan bagaimana sistem Islam mengatur. Dalam pandangan Islam, sumber daya alam merupakan kepemilikan umum (milkiyyah ‘âmmah) yang harus dikelola oleh negara demi kepentingan rakyat, bukan untuk dimiliki oleh pihak swasta maupun asing.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Karena itu, dalam sistem Islam, negara bertugas mengelola tambang secara amanah dan berkeadilan, tanpa merusak ekosistem.
Islam mengajarkan bahwa manusia ditunjuk sebagai khalifah di muka bumi dengan tanggung jawab untuk mengelola dan melestarikan alam, bukan malah merusaknya. Allah menciptakan manusia dari tanah dan mengamanahkannya sebagai pemakmur bumi (QS. Hud: 61). Dengan demikian, pemanfaatan alam dalam Islam harus mengikuti aturan syariah dan tidak menimbulkan kerusakan.
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara adil dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan umat. Hasil tambang disalurkan ke Baitul Mal untuk pelayanan publik, bukan untuk memperkaya investor atau elit politik.
Kesimpulannya, kerusakan ekologis di Raja Ampat mencerminkan kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola sumber daya alam. Sistem ini telah terbukti menciptakan ketimpangan, kerusakan, dan penderitaan. Karena itu, sudah saatnya bangsa ini melepaskan diri dari jeratan kapitalisme dan kembali kepada syariat Islam secara kaffah.
Penerapan Islam secara menyeluruh adalah bentuk ketakwaan sejati. Dengan sistem Islam, keberkahan dari langit dan bumi akan tercurah sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an surah Al-A’raf ayat 96. Maka, hanya dengan kembali kepada hukum Allah, bumi ini bisa diselamatkan dari kehancuran.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.