![]() |
Oleh: Osami Putri Anelta (Aktivis Dakwah Kampus) |
Puluhan aktivis yang berencana mengikuti konvoi kemanusiaan untuk melawan blokade Israel di Jalur Gaza dilaporkan telah dideportasi oleh pemerintah Mesir. Seorang pejabat Mesir menyatakan bahwa para aktivis tersebut tidak mendapatkan izin yang diperlukan. Hal ini juga ditegaskan oleh Kementerian Luar Negeri Mesir yang menyatakan bahwa setiap peserta konvoi harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Namun, pihak penyelenggara Global March to Gaza membantah tuduhan tersebut. Mereka menegaskan telah mengikuti seluruh protokol yang ditetapkan oleh pemerintah Mesir dan bahkan bersedia memberikan informasi tambahan guna memastikan perjalanan kemanusiaan tersebut tetap berlangsung damai hingga mencapai perbatasan Rafah, sesuai rencana (marchtogaza.net, 12/6/2025).
Ketua Aliansi Kemanusiaan Indonesia (AKSI), Ali Amril, turut angkat bicara. Ia menyebut bahwa aksi ini merupakan bentuk diplomasi jalanan yang mencerminkan perubahan pendekatan dunia dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Palestina. Ali juga menjelaskan bahwa gerakan ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya, yakni aksi kapal Madleen yang sempat dicegat di laut. Menurutnya, partisipasi masyarakat global dalam Global March to Gaza adalah bukti nyata bahwa diplomasi baru sedang lahir—diplomasi yang tumbuh dari penderitaan rakyat Palestina. Ia menambahkan bahwa keikutsertaan warga Indonesia dalam barisan konvoi tersebut menjadi simbol kuat bahwa keberpihakan kepada Palestina bukan sekadar wacana, melainkan diwujudkan dalam tindakan nyata. Ali pun mengecam keras tindakan otoritas Mesir yang menahan dan mendeportasi anggota konvoi kemanusiaan (khazanah.republika.co.id, 14/6/2025).
Dukungan terhadap gerakan ini juga mengemuka di dalam negeri. Di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta, pada Minggu (15/6/2025), sejumlah orang menggelar aksi solidaritas untuk mendukung Global March to Gaza. Aksi ini merupakan bagian dari gerakan jalan kaki internasional sejauh sekitar 50 kilometer, di mana para peserta akan berjalan dari Kairo, Mesir, menuju gerbang Rafah. Dilaporkan bahwa sebanyak 10.000 orang dari 50 negara direncanakan akan mengikuti aksi ini. Sementara itu, situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Otoritas kesehatan Gaza pada Kamis (12/6/2025) melaporkan bahwa sedikitnya 21 orang tewas dan lebih dari 20 lainnya terluka dalam upaya mereka mengakses bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan (www.liputan6.com, 15/6/2025)
Sikap pemerintah Mesir dan pernyataan penyelenggara Global March to Gaza tampak saling bertolak belakang. Di satu sisi, pemerintah Mesir menyatakan bahwa para aktivis belum mendapatkan izin yang diperlukan. Namun di sisi lain, pihak penyelenggara menegaskan bahwa mereka telah memenuhi protokol yang ditetapkan dan bersedia bersikap terbuka demi memastikan aksi ini berjalan sesuai rencana. Situasi ini menimbulkan kesan seolah-olah pemerintah Mesir justru membatasi upaya para aktivis untuk mendesak Israel membuka akses bantuan kemanusiaan melalui gerbang Rafah menuju Gaza. Jika memang demikian adanya, maka sikap ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan Mesir sebagai negara Muslim, yang seharusnya mendukung Palestina yang tengah menghadapi penderitaan.
Sikap Mesir terhadap aksi Global March to Gaza tidak muncul tanpa alasan. Meskipun Gaza berdekatan secara geografis dengan Mesir, hubungan diplomatik Mesir dengan Israel, yang diperkuat oleh perjanjian Camp David, menciptakan jarak dalam solidaritas keimanan. Akibatnya, kesekatan wilayah tidak selalu sejalan dengan komitmen akidah. Meski sama-sama Muslim, realitas politik menunjukkan adanya jarak yang lebar dalam hal solidaritas keimanan. Kerja sama strategis antara negeri muslim dengan kekuatan Barat sering kali menjadi faktor yang menekan dan membungkam dukungan terhadap saudara seakidah yang tengah dijajah dan digenosida oleh Zionis Israel.
Dalam berbagai situasi, kepentingan geopolitik dan diplomasi global kerap dijadikan alasan untuk absen dari pembelaan nyata terhadap Palestina. Ironisnya, atas nama stabilitas dan kerja sama internasional, kepentingan utama yang semestinya diutamakan—yakni menggerakkan kekuatan militer untuk menghentikan penjajahan dan serangan brutal Zionis Israel terhadap Gaza—justru dikaburkan. Padahal, dalam situasi genosida seperti yang terjadi di Gaza saat ini, yang dibutuhkan bukan hanya kecaman atau bantuan kemanusiaan, tetapi tindakan nyata untuk melindungi dan membela saudara seakidah yang tengah dizalimi
Semua ini berakar dari cara pandang hidup yang membelenggu negeri-negeri Muslim—sebuah cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan duniawi daripada kepentingan akhirat. Cara pandang ini melahirkan paham nasionalisme sempit yang memisahkan ikatan keimanan antar-Muslim di berbagai negara. Akibatnya, negeri-negeri Muslim menjadi enggan bergerak untuk menolong saudara-saudara seakidahnya yang sedang mengalami penjajahan dan genosida, seperti yang terjadi di Gaza. Paham ini bukan berasal dari Islam melainkan, warisan penjajahan yang sengaja ditanamkan untuk melemahkan ukhuwah Islamiyah dan memecah belah umat. Penjajah Barat menekan negeri-negeri Muslim agar tidak membantu saudaranya sendiri, demi mempertahankan dominasi mereka sebagai kekuatan adidaya yang terus menjajah dan menindas.
Belenggu pemikiran inilah yang membuat kekuatan militer negeri-negeri Muslim seolah beku dan tak bergerak menghadapi penjajahan Zionis Israel di Gaza. Selama umat Islam masih mengikuti cara pandang yang diwariskan oleh penjajah—yang menuhankan batas negara dan mengekor pada kepentingan Barat—genosida di Gaza akan terus berulang. Oleh karena itu, negeri-negeri Muslim dan umat Islam di seluruh dunia membutuhkan pemahaman Islam yang benar dan menyeluruh—kaffah—agar mampu membebaskan diri dari belenggu penjajahan, menyatukan kekuatan, dan mencabut kezaliman dari tanah-tanah kaum Muslim, termasuk Gaza.
Umat Muslim di Gaza yang hingga hari ini masih mengalami penjajahan dan genosida, menunjukkan keteguhan mereka yang dilandasi pada akidah islam yang kokoh. Penjajahan yang terjadi di tanah Gaza adalah seperti benalu yang harus dicabut hingga ke akarnya agar kezaliman ini dapat diakhiri secara total. Islam memberikan konsep jihad sebagai jalan untuk mengakhiri dominasi penjajahan kafir Barat atas umat Islam yang tertindas. Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga sistem hidup yang menawarkan solusi nyata terhadap berbagai permasalahan umat, termasuk tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza.
Sejarah mencatat bahwa penyelesaian genosida dan penjajahan seperti di Gaza hanya pernah benar-benar efektif di bawah naungan Khilafah Islamiyyah. Dengan adanya negara Islam, konsep jihad dapat dikomandoi dan digerakkan secara terorganisir untuk membebaskan tanah-tanah kaum Muslim dari cengkeraman penjajah. Namun, saat ini umat Islam tidak memiliki negara yang menaungi mereka, sehingga keberadaan negara tersebut menjadi keperluan mendesak demi menghentikan penindasan terhadap umat Islam, baik di Gaza maupun di belahan dunia lainnya. Segala bentuk penindasan, penghinaan, dan dominasi hanya akan berakhir jika umat Islam kembali kepada Islam kaffah sebagai solusi hidup. Belenggu pemikiran yang selama ini mengekang negeri-negeri Muslim harus dilepaskan. Kesadaran akan pentingnya memahami Islam secara kaffah (menyeluruh) harus ditumbuhkan agar umat menemukan solusi yang hakiki, bukan tambal sulam.
Mewujudkan visi ini, diperlukan adanya sebuah jamaah dakwah ideologis yang secara konsisten menyerukan pentingnya kebangkitan Islam. Jamaah ini berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam yang telah hilang sejak runtuhnya Khilafah, dan membangkitkan umat agar tidak lagi menjadi korban penindasan kekuatan penjajah kafir Barat. Mewujudkan kembali Khilafah Islamiyyah bukan hanya sebuah wacana, tapi merupakan kebutuhan mendesak bagi umat Muslim agar mereka terbebas dari penjajahan, kembali menjadi umat yang mulia, dan agar Islam kembali menjadi kekuatan adidaya yang memimpin dunia serta disegani oleh bangsa manapun dan tidak dijajah lagi.