![]() |
Oleh : Rola Rias Kania (Tenaga Pengajar) |
Mengapa Aceh dan Sumatra Utara, yang bersatu di bawah bendera Indonesia, justru memperebutkan empat pulau kaya sumber daya? Apakah ini sekedar kecemburuan regional, atau ada tangan kapitalisme yang mengatur konflik dari balik layar ?. Empat pulau, yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, yang menjadi sengketa, kini sudah selesai dan diputuskan milik Aceh secara administrasi. Pulau ini menjadi perebutan Sumatera Utara dan Aceh, mencuat karena adanya Keputusan Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau itu masuk wilayah Sumatera Utara. Padahal keempat pulau tersebut awalnya merupakan bagian dari wilayah Aceh.(detik.com/17/06/2025).
Empat pulau antara provinsi Aceh dan Sumatera Utara(Sumut) diyakini memiliki potensi kandungan minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut (cnn.com/12/06/2025). Hal ini juga diduga menjadi alasan pertikaian hak kepemilikan pulau ini. Fakta ini menjadi alasan bahwa polemik ini bukan sekedar sengketa administratif, namun berkaitan dengan sistem pemerintahan daerah yang menggunakan otonomi daerah (Otda).
Tiap daerah di Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan dan pengelolaan kekayaan alam yang ada di wilayahnya. Otonomi daerah ini dapat memicu konflik kewenangan anatarwilayah, terlebih wilayah tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam. Indonesia dengan jelas sebagai negara demokrasi sekuler-kapitalis yang kerang berpikir ini berkembang dari barat. Sistem ini hadir pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.
Hadirnya otonomi daerah digadang-gadang demi meningkatkan efisiensi dan partisipasi lokal dalam pemerintahan. Indonesia sebagai negara berkembang dengan sistem ini acap kali menimbulkan masalah baru. Kiranya dengan Otda ini dapat memperkuat keadilan dan pemerataan, namun yang ada hanyalah konflik kepentingan, tarik-menarik kekuasaan dan eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan. Apa yang terjadi pada provinsi Aceh mencerminkan bagaimana kebijakan ini hadir demi elit-elit politik untuk kepentingan jangka pendek, bukan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Pengelolaan urusan pemerintah bagi daerah juga memiliki kewenangan yang luas, termasuk pengelolaan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan ini wajar saja akan menimbulkan perbedaan kesejahteraan antar wilayah terutama antar daerah. Daerah dengan sumber daya yang kaya dan daerah yang miskin sumber daya. Kesenjangan ini akan melahirkan kecemburuan sosial dan potensi konflik. Kisruh inilah yang terjadi pada daerah Aceh dan Sumater Utara. Ancaman terhadap disintegrasipun tidak dapat dihidari.
Pengaturan yang dibuat oleh sosok yang lemah terbatas dan serba kurang, wajar saja akan menimbulkan masalah-masalah dan merusakan tatanan kehidupan. Sudah selayaknya manusia mengambil aturan dari sang khaliq. Sebagai umat muslim Allah menurunkan seperangkat aturan termasuk aturan dalam bernegara. Dalam Islam akan menggunakan sistem sentralisasi. Pengelolaan sumber daya dan pembangunan akan dikelola dan dikendalikan oleh pusat. Penerapan Islam secara kaffah (keseluruhan) sudah sepatutnya. Dalam sistem ini pengelolaan wilayah akan dilakukan secara sentralistik dibawah kepemimpinan khalifah (kepala negara). Khalifah akan bertanggung jawab terhadap seluruh rakyat, tanpa membedakan wilayah satu dengan lainnya.
Otonomi daerah bukan konsep yang lahir dari Islam. Dalam Islam negara tidak akan membagi kewenangan secara bebas kepada masing-masing wilayah. Pengelolaan sumber daya alam dan pendistribusian kekayaan dikendalikan oleh negara sebagai pusat pemerintahan dan berdasarkan pada syariat Islam. Kesejahteraan akan terwujud dengan tidak bergantung pada potensi ekonomi atau pendapatan daerah.
Pengelolaan sumber daya alam dari tambang, migas, laut dan hutan serta hutan sebagai milik umum (milkiyyah’ammah) akan dikelola oleh negara. Hasil dari pengelolaan ini akan diwujudkan demi kemaslahatan seluruh rakyat.pengaturan ini jelas sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam Islam jelas sumber daya strategis tidak boleh dikelola oleh indivu atau dikuasai oleh derah tertentu, namun harus dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh umat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang artinya “ Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud). Dengan ini kecemburuan sosial antarwilayah tidak akan dapat terjadi dan terwujudnya kesejahteraan secara merata di seluruh penjuru negeri. Setiap daerah tidak lagi saling berebut daerah yang kaya akan sumber daya alam, karena pengelolaan oleh penguasa yang keuntungan akan diberikan untuk seluruh umat, tanpa membedakan asal derah, suku ataupun ras.
Pemimpin dalam sistem ini berkewajiban memiliki sifat yang adil dan amanah dalam menjalankan urusan rakyat. Islam memandangan penguasa sebagai “raa’in” (pengembaka) dan “junnah” (perisai) bagi rakyatnya. Penguasa akan bertanggung jawab dalam kesejahteraan, keamanan dan keadilan. Setiap perbuatan ia yakini akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah swt, dengan ini amanah yang diembannya akan senantiasa hadir ketaqwaan. Sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahua’lam bissawa’b.