![]() |
Oleh: Annisa Sukma Dwi Fitria (Mahasiswi Pendidikan Bahasa) |
Sekian dekade sejak runtuhnya kedaulatan Islam dari muka dunia, penistaan agama yang tertuju pada Islam terus terjadi. Polisi di Istanbul, Turki menangkap empat orang terlibat dalam kasus penghinaan nilai-nilai agama di depan umum. Kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad dan Nabi Musa sedang berjabat tangan tersebut ditampilan dalam majalah satir Leman’s (International.sindonews, 1/7/2025). Peristiwa yang sudah terlanjur diketahui oleh masa menuai polemik hingga masyarakat melakukan aksi unjuk rasa. Alih-alih bertanggung jawab atas tindakannya, pemimpin redaksi, LeMan Tuncay Akgun malah mengkambing hitamkan bahwa kartun tersebut bukan merujuk pada Nabi Muhammad melainkan sebagai bentuk singgungan konflik Israel-Iran yang terjadi baru-baru ini (CNN, 1/7/2025).
Siapa sangka bahwa ujaran dari LeMan itu tertolak dan Menteri Dalam Negeri Turki, Ali Yerlikaya tetap mempertahankan pripsipnya bahwa tindakan tersebut adalah tindakan yang salah dan kartunis yang telah tertangkap harus siap bertanggung jawab atas gambar keji tersebut. Menurutnya, tidak ada kebebasan yang memberikan hak untuk menjadikan nilai-nilai suci dari suatu keyakinan sebagai subjek humor jelek. Bahkan, kejadian itu menuai respon dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang menyebutkan bahwa karya tersebut merupakan bentuk provokasi keji yang tidak dapat ditolerir karena mengandung penghinaan terhadap nilai-nilai sakral umat Islam. Erdogan juga mengungkapkan bahwa gambar tersebut menerangkan sebuah kejahatan kebencian Islamofobia (CNBC, 5/7/2025).
Berangkat dari isu diatas, penghinaan terhadap nilai-nilai sakral umat Islam sudah menjadi rahasia umum. Maksudnya, perbuatan itu tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi melainkan sudah diekspresikan secara terang-terangan bahkan ke berbagai media dalam kancah global. Dengan terjadinya peristiwa itu, seharusnya seluruh umat muslim bersedih, merenung, dan menyadari bahwa tindakan tersebut sangat tidak dibenarkan sehingga berani berdiri di garda terdepan untuk membela agama dengan suara lantangnya. Namun sayangnya, pengaruh media barat membawa umat muslim terperosok jauh hingga hanyut mengikuti arus yang sengaja dibuat oleh barat. Masing-masing sibuk untuk mengekspresikan apa yang dirasa dan memilih menjadi individu yang sekular.
Padahal, sudah sangat jelas terlihat bahwa kobaran api kebencian musuh-musuh Islam makin membesar dan meluas sehingga tidak dapat terbendung lagi. Arus pemahaman liberalisme yang merupakan budaya barat melahirkan beberapa nilai-nilai kebebasan seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan berkepemilikan. Nilai-nilai tersebut memiliki payung hukum yang dinamai HAM (Hak Asasi Manusia) sehingga menjadi legal untuk dilakukan oleh seluruh manusia saat sekarang. Dengan adanya nilai-nilai kebebasan tersebut musuh Islam justru makin terdorong untuk meningkatkan kefokusannya dalam menghancurkan dan merendahkan Islam. Terlebih dari itu, runtutan peristiwa ini tidak terjadi tanpa sebab.
Asal muasal hadirnya tindakan kebebasan berekspresi yang merendahkan satu golongan dan golongan lain dilandasi oleh sistem demokrasi yang lahir dari sistem sekularisme – kapitalisme. Sistem itu lah yang menjadi biang kerok atas penerapan asas liberalisme dan demokrasi, yakni sistem pemerintahan yang memayungi asas tersebut agar bisa diberlakukan ke tengah-tengah kehidupan manusia. Maka tidak heran jika kehidupan umat muslim saat ini terpecah belah, tercerai berai, terombang ambing bak buih di lautan. Mereka termakan stigma negatif karangan barat terhadap agama mereka sendiri. Tidak lagi memahami makna dari nilai-nilai sakral yang diemban oleh Islam bahkan ikut memusuhi Islam layaknya seorang bebek yang terus membuntuti induknya.
Terbukti sudah kebobrokan sistem sekular – kapitalis, mereka membawa kebangkitan yang hanya terpusat pada para kapital saja. Cenderung mengutamakan kepentingan duniawi dan kebutuhan pribadi dalam hidupnya. Maka dari itu sebenarnya, aturan yang diproduksi oleh manusia tidak pantas diterapkan dalam kehidupan untuk mnegatur urusan manusia itu sendiri. Jika keras kepala dan membangkang pada aturan pencipta, maka tidak heran jika banyak tindakan diluar nalar yang terjadi saat sekarang. Oleh karena itu, sebagai umat muslim yang tunduk pada pencipta, sudah menjadi sebuah keharusan untuk berkaca pada peradaban Islam yang dahulu sempat gemilang selama 13 abad lamanya. Peradaban yang terbentang hingga ke 2/3 dunia berhasil membawa kedamaian ke seluruh penjuru negeri.
Sejatinya, peradaban Islam tidak mengenal istilah kebebasan karena hukum asal perbuatan, perilaku, atau tindakan manusia terikat pada hukum syara’ yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, seorang muslim patut menelisik lebih dalam tolok ukur perbuatannya yaitu berupa perintah dan larangan Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Maka demi Rabb-mu, pasti akan menanyakan (menghisap) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu” (QS. Al-Hijr: 92-93). Dengan dalil tersebut, Allah mewajibkan setiap muslim untuk mempelajari ilmu agama sehingga ia mengetahui terlebih dahulu hukum perbuatannya, apakah itu haram, makruh, mubah, mandhub, atau fardhu (wajib) sebelum berbuat karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya.
Peradaban Islam yang berhasil gemilang dilandasi oleh aqidah Islam yang lurus. Peradaban tersebut tidak dibangun untuk memperoleh keuntungan atau manfaat materi semata, apalagi hanya sebagai ajang lomba pemuas nafsu kebebasan. Mekanisme Islam yang diterapkan dalam kehidupan bernegara semata untuk menjaga kemuliaan seluruh alam. Dengan itu, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan untuk para penghina nilai-nilai agama, termasuk penghina Nabi Muhammad. Firman Allah berikut, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 66). Dengan dalil tersebut para ulama sepakat bahwa perbuatan menghina Allah SWT, ayat suci, dan Rasul-Nya adalah pembatal keimanan.