Oleh Shabrina Nibrasalhuda
Mahasiswi
Fenomena kekerasan yang menimpa kaum
perempuan dan anak-anak di Indonesia memperlihatkan eskalasi yang
mengkhawatirkan, terutama dalam ranah kejahatan digital. Berdasarkan paparan
Menteri PPPA Arifah Fauzi dalam jumpa pers tanggal 10 Juli 2025, statistik
menunjukkan bahwa periode Januari hingga pertengahan Juni 2025 mencatat hampir
11.800 pengaduan kasus kekerasan, dengan angka yang terus bertambah mencapai
sekitar 13.000 kasus pada awal Juli 2025. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa
seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah mendominasi angka kejadian
tersebut, yang berkorelasi dengan tingginya jumlah populasi di wilayah-wilayah
ini (KemenPPPA, 2025).
Menteri Arifah menggarisbawahi bahwa akses
teknologi komunikasi dan platform media sosial yang tidak terkontrol merupakan
faktor dominan dalam peningkatan kasus kekerasan ini, di samping permasalahan
dalam pola pengasuhan. Generasi muda saat ini sangat rentan terhadap paparan
materi berbahaya di ruang virtual, sebagai konsekuensi dari pemberian akses
perangkat digital yang tidak terbatas oleh para orang tua sebagai bagian dari
gaya hidup modern (KemenPPPA, 2025).
Riset yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik pada 2022 mengungkapkan bahwa lebih dari sepertiga anak usia dini
Indonesia (33,44%) telah memanfaatkan perangkat digital. Lebih mengejutkan
lagi, seperempat dari pengguna tersebut (25,5%) adalah anak-anak dalam rentang
usia 0-4 tahun (Kemendikbud, 2024). Di sisi lain, penelitian APJII tahun 2024
mendemonstrasikan bahwa hampir separuh anak di bawah 12 tahun (48%) sudah aktif
menggunakan internet, khususnya melalui aplikasi media sosial seperti TikTok
dan Instagram. Dampaknya tercermin dalam lonjakan kasus gangguan mental pada
anak dan remaja akibat ketergantungan teknologi, dengan Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya mencatat 3.000 kasus dalam semester pertama 2024 (RSJ Menur, 2024).
Permasalahan tidak berhenti di situ. Kejahatan berbasis gender dalam ruang digital juga mengalami peningkatan signifikan. Komnas Perempuan mendokumentasikan 1.791 kasus KBGO sepanjang 2024, menunjukkan kenaikan 48% dibanding periode sebelumnya. KPAI juga mencatat 431 insiden eksploitasi anak selama rentang 2021-2023 (Indonesia.go.id, 2025). Bahkan dalam skala internasional, Indonesia menempati posisi keempat global untuk kasus konten pornografi anak di platform digital (Tempo, 9 Juli 2025).
Rangkaian kejadian ini bukan semata-mata
cerminan dari kurangnya pengawasan individual atau sekadar insiden terpisah.
Kekerasan dan kejahatan siber terhadap perempuan serta anak-anak mencerminkan
krisis yang lebih fundamental dalam sistem pengelolaan kehidupan bermasyarakat.
Meskipun pemerintah telah menghadirkan
berbagai regulasi seperti UU PKDRT (No. 23/2004), UU TPKS (No. 12/2022), dan PP
TUNAS (No. 17/2025) untuk mengamankan anak-anak dalam ekosistem digital, serta
menjalankan kampanye anti-kekerasan di berbagai daerah, realitas menunjukkan
bahwa kasus-kasus terus bertambah dengan kompleksitas yang semakin tinggi.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa inti permasalahan belum berhasil
diidentifikasi dan diatasi.
Faktor utama yang berkontribusi adalah
penerapan sistem sekuler-kapitalis dalam penyelenggaraan negara. Sistem ini
menciptakan pemisahan antara nilai-nilai spiritual dan kehidupan publik, sambil
menempatkan liberalisme sebagai fondasi utama. Konsekuensinya, banyak kebijakan
yang bersifat toleran dan kurang ketat dalam menangani isu-isu moral, khususnya
dalam dunia maya. Peran negara dalam fungsi pengawasan dan perlindungan juga
terlihat lemah ketika berhadapan dengan serbuan konten destruktif yang menyasar
generasi muda.
Dalam ranah pendidikan, sistem sekuler
telah menghasilkan generasi yang lemah dalam fondasi spiritual, kurang dalam
karakter moral, dan rendah dalam kemampuan literasi digital. Sementara dalam
aspek ekonomi, kapitalisme menciptakan kesenjangan, tekanan hidup, dan
kemiskinan, yang pada akhirnya membuka peluang bagi individu untuk mengambil
jalan instan, termasuk melalui kejahatan digital. Lingkungan pergaulan dan
media yang liberal juga memperkuat budaya permisif, di mana masyarakat
kehilangan kepekaan terhadap perilaku menyimpang.
Kelemahan dalam sistem hukum semakin
memperburuk situasi. Regulasi yang ada belum mampu memberikan efek pencegahan
yang memadai bagi pelaku. Bahkan ketentuan dalam UU ITE seperti yang berkaitan
dengan "kesusilaan" sering menimbulkan interpretasi ganda, sehingga
pelaku dapat terlepas dari jeratan hukum atau bahkan membalikkan tuduhan kepada
korban. Penegakan hukum pun masih menghadapi berbagai hambatan, mulai dari
budaya permisif hingga mentalitas aparat yang belum sepenuhnya profesional.
Apabila kondisi ini dibiarkan berlanjut,
generasi mendatang akan berkembang dalam atmosfer yang dipenuhi dengan racun
moral. Bonus demografi yang seharusnya menjadi aset strategis bagi Indonesia
justru berisiko berubah menjadi malapetaka sosial.
Islam hadir tidak hanya sebagai sistem
ritual keagamaan, melainkan sebagai kerangka hidup komprehensif yang mengatur
semua dimensi kehidupan manusia. Prinsip-prinsipnya menawarkan solusi konkret
untuk setiap permasalahan, termasuk dalam upaya melindungi perempuan dan anak
dari kekerasan serta kejahatan digital.
Menurut perspektif Islam, negara memiliki
kewajiban untuk berperan sebagai pelindung dan pengatur kepentingan rakyat,
termasuk dalam hal keamanan digital dan moralitas masyarakat. Fungsi ini hanya
dapat berjalan secara optimal ketika negara mengimplementasikan syariat Islam
secara menyeluruh dalam bidang politik, pendidikan, ekonomi, sosial, dan hukum.
Dalam sistem politik Islam, negara akan
berdiri secara mandiri tanpa intervensi asing, termasuk dalam pengelolaan
teknologi informasi. Negara akan menerapkan sistem media massa yang edukatif
dan berbasis dakwah, bukan media yang bebas menayangkan konten merusak demi
profit. Sistem hukum Islam juga akan diimplementasikan dengan tegas dan adil,
sehingga mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan memberikan
perlindungan nyata bagi masyarakat.
Dalam aspek ekonomi, Islam menyediakan sistem baitul mal (keuangan publik) yang menjamin kesejahteraan masyarakat secara merata. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, potensi munculnya "bisnis haram" seperti industri pornografi digital akan tereliminasi karena tidak mendapat pasar dan tidak ditoleransi.
Sementara itu, sistem pendidikan Islam
bertujuan membentuk generasi yang bertakwa, cerdas, dan memiliki visi hidup
sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Sistem pergaulan Islam pun menanamkan
nilai-nilai amar makruf nahi munkar, membentuk masyarakat yang saling menjaga
dari perbuatan tercela.
Jika semua ini diterapkan secara
konsisten, akan terbentuk tiga lapisan perlindungan yang kokoh: individu yang
sadar dan bertakwa, masyarakat yang aktif mencegah kemunkaran, dan negara yang
hadir sebagai pelindung dan pelaksana hukum. Semua itu hanya mungkin terwujud
dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah.
Khilafah bukanlah utopia belaka. Sistem
ini pernah eksis dan berhasil membangun peradaban Islam yang gemilang selama
berabad-abad lamanya. Ketika Barat masih terbenam dalam era kegelapan, dunia
Islam justru melahirkan generasi cemerlang yang menjadi pionir dalam ilmu
pengetahuan, inovasi, dan keadilan. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang
dipenuhi dengan iman dan orientasi akhirat.
Saat ini, sebagian umat sedang berupaya
untuk mengembalikan Khilafah. Meskipun tantangannya besar, janji Allah pasti
akan terealisasi. Yang terpenting adalah kita tidak boleh hanya menunggu. Kita
harus mengambil peran sebagai bagian dari transformasi, bukan sekadar penonton
pasif. Karena setiap pilihan yang kita buat hari ini akan dimintai
pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah.
Wallahualam bissawab