Oleh: Ayu Lestari, S. Pd
Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa Indonesia sedang dihadapkan pada bahaya besar yang mengintai masa depan bangsa, yakni kolusi antara kapital besar, pejabat pemerintahan, dan elite politik. Fenomena ini dikenal dengan istilah state capture, di mana kekuasaan negara pada akhirnya dikuasai oleh segelintir pemilik modal dan pejabat yang berkolusi. Kolusi ini tidak hanya merusak tatanan pemerintahan, tetapi juga tidak memberikan kontribusi nyata dalam pengentasan kemiskinan atau pemerataan kesejahteraan. Justru, ketimpangan ekonomi semakin melebar.
Belum lama ini, Kejaksaan Agung menyita aset senilai Rp 118 triliun dari Wilmar Group terkait korupsi crude palm oil (CPO). Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kolusi antara pengusaha besar dan pejabat pemerintahan bukan isapan jempol. Wilmar Group, yang dikenal sebagai salah satu raksasa industri sawit nasional, ternyata terjerat praktik kotor yang melibatkan pengaruh terhadap kebijakan dan keputusan negara demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Fenomena state capture seperti ini bukan kebetulan. Dalam sistem politik demokrasi kapitalistik yang dianut saat ini, kolusi dan korupsi adalah keniscayaan. Demokrasi sekuler memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam politik dan pemerintahan. Akibatnya, nilai-nilai moral dan akidah tidak menjadi landasan dalam membuat keputusan publik. Jabatan menjadi komoditas, dan proses meraihnya sering kali memerlukan modal besar. Maka, lahirlah politik transaksional: pengusaha mendanai kampanye, dan sebagai imbalannya, mereka menuntut kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka ketika kandidat yang didukung berhasil duduk di kursi kekuasaan.
Inilah lingkaran setan yang membuat korupsi menjadi sistemik. Negara tak lagi menjadi pelindung rakyat, tapi menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk memperkaya diri. Rakyat hanya menjadi objek kebijakan, bukan subjek pembangunan. Ketika sistem ini dibiarkan berjalan, maka pergantian pemimpin tidak akan membawa perubahan berarti, karena akar masalahnya adalah sistem itu sendiri.
Berbeda dengan sistem demokrasi sekuler, Islam memiliki pandangan yang mendasar dan menyeluruh dalam mengatur urusan pemerintahan dan kekuasaan. Dalam sistem Islam, akidah Islam menjadi asas kehidupan, baik bagi individu maupun negara. Setiap tindakan, termasuk dalam pemerintahan, dilandasi oleh ketundukan kepada hukum Allah. Jabatan bukanlah jalan untuk mencari keuntungan duniawi, tetapi amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat." (HR. Bukhari). Islam memandang kepemimpinan sebagai beban berat yang hanya boleh diemban oleh orang yang memenuhi syarat integritas dan kompetensi, bukan berdasarkan kekuatan modal atau popularitas semata.
Islam juga menetapkan mekanisme untuk menjaga kejujuran dan mencegah terjadinya korupsi. Salah satunya adalah sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah, pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan akan dihukum secara adil, tanpa pandang bulu. Tidak ada kekebalan hukum, dan tidak ada transaksi politik di balik layar.
Lebih dari itu, sistem Islam membangun kesadaran individu untuk takut kepada Allah, sehingga kejujuran tidak hanya ditegakkan karena diawasi manusia, tetapi karena adanya pengawasan dari Allah yang Maha Melihat. Inilah yang menjadikan masyarakat Islami lebih kokoh dalam menjaga integritas, baik di ranah individu maupun negara.
Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa selama sistem sekuler kapitalistik masih menjadi dasar pemerintahan, kolusi dan korupsi akan terus mengakar. Solusi bukan hanya dengan mengganti orang, tetapi mengganti sistem. Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, integritas dalam kepemimpinan bisa diwujudkan, dan kekuasaan bisa benar-benar menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.