Oleh Rismayanti
Pegiat Literasi
Ketimpangan harga beras di tengah stok melimpah, membuat Satgas Pangan Mabes Polri turun ke lapangan melakukan pengecekan ke sejumlah pasar induk besar seperti Cipinang, Jakarta Timur.
Menurut Prof Lilik, langkah-langkah untuk mendapat validasi di lapangan perlu dilakukan, dengan stok beras mencapai 4,2 juta ton mustahil rasanya harga beras melonjak tinggi mengingat stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dalam kondisi memuaskan bahkan yang tertinggi dalam sejarah. (beritasatu.com, 19/06/2025)
Dengan stok beras yang melimpah justru di pasaran mengalami kenaikan bahkan melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Normalnya tatkala stok berlebih seharusnya negara dapat menekan harga pasaran menjadi lebih murah dan mudah dijangkau masyarakat.
Dengan kebijakan pemerintah yang mengharuskan Bulog menyerap gabah petani dengan jumlah besar menjadikan stok di gudang menumpuk. Akibatnya, menghambat suplai ke pasaran sehingga terjadi kenaikan harga. Inilah buah dari sistem kapitalisme yang diadopsi hari ini, di mana pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme: tidak pro-rakyat, tetapi tunduk pada mekanisme pasar dan pesanan elite.
Dalam kapitalisme kebutuhan pangan bukan menjadi bagian dasar yang harus dipenuhi bahkan dijamin negara, melainkan hanya komoditas yang bisa dikapitalisasi demi keuntungan semata. Dan lagi-lagi korban fluktuasi menyasar rakyat miskin.
Praktik ekonomi pasar yang tidak sehat mengakibatkan harga melonjak tinggi, diduga ada praktik kecurangan oleh oknum distributor sekaligus pedagang sehingga terhambatnya masalah pendistribusian dan rantai pasok.
Wacana peluncuran Koperasi Merah Putih untuk memotong rantai pasok dan menstabilkan harga beras oleh pemerintah dirasa kurang tepat. Karena harga beras yang tinggi di tengah-tengah stok beras yang melimpah, menjadi masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan yang berkelanjutan. Selain itu pemerintah juga perlu turun langsung kelapangan, dan menindak tegas oknum yang melakukan kecurangan yang dapat merugikan konsumen.
Dengan kekayaan SDA Indonesia yang melimpah, negara tidak mampu mengelola dengan baik. Bahkan kebutuhan pokok saja terkadang masih bergantung pada pemasok dari negara lain
Semua ini tidak lain karena penerapan ekonomi kapitalisme, mengakibatkan tidak sehatnya tata niaga pangan. Manipulasi harga dan penimbunan barang yang dilakukan oleh para tengkulak dan pedagang dianggap wajar. Selain itu menetapkan batas atas harga pangan yang dijual menjadi langkah pemerintah dalam menekan harga, sehingga penjual tidak menjual di atas harga yang sudah ditetapkan, semua itu dirasa kurang tepat.
Perspektif Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, kebutuhan pokok seperti pangan wajib dijamin oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyat. Di sisi lain, pemerintah juga memberikan kesempatan rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Agar kebutuhan masyarakat terpenuhi, baik melalui akses pasar ataupun bantuan dari pemerintah. Maka diperlukan beberapa pendekatan terhadap masyarakat. Seperti mendorong produktivitas barang, mengatur pasar tetap dalam tata niaga yang sehat dan sesuai aturan syariat Islam, bahkan pemerintah memberikan bantuan di luar pasar jika diperlukan.
Dorongan produksi di sini, berarti pemerintah menekankan bahwa pentingnya produksi kebutuhan pokok secara efesien, guna memastikan ketersediaan yang cukup dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Dalam negara Islam tidak boleh mengadopsi aturan batil, seperti sewa lahan yang jelas tidak sesuai dengan syara, jelas praktik semacam ini merugikan salah satu pihak. Sehingga Islam memakai sistem bagi hasil dalam melakukan kerjasama untuk kedua belah pihak, yaitu pemilik lahan dan penggarap. Sehingga biaya produksi menjadi lebih efisien.
Di samping mendorong distribusi, negara juga akan menjaga produktivitas tanah, di mana negara akan mengambil alih pengelolaan tanah yang ditelantarkan selama lebih dari tiga tahun oleh pemiliknya. Lalu negara akan mengelola tanah dengan memberikan hak kepengurusan kepada yang membutuhkan, agar lahan menjadi lebih produktif. Bahkan negara mendanai melalui kas negara, bilamana petani merasa kesulitan dalam biaya produksi. Baik itu berupa benih, pupuk, sekaligus sarana prasarana yang dibutuhkan petani.
Selain itu, negara akan mendorong para petani mencari input pertanian terbaik serta teknologi terupdate, agar lebih efisien sehingga meningkatkan hasil produktivitas.
Pada masa Daulah Islam, tepatnya pada era khalifah Umar bin Khaththab, dikutip dari Al-Haritsy (2003) beberapa kebijakan dalam meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Negara memberikan hak penuh pengelolaan wilayah-wilayah penaklukan tanpa bagi hasil kepada penduduk asli, dalam rangka meningkatkan produktivitas apabila dikelola oleh penduduk asli yang lebih memahami dan mampu mengembangkan lahan daripada pihak asing.
Pengawasan pasar, adanya Qadhi muhtasib atau hisbah di mana struktur ini bertanggung jawab dalam menegakan keadilan dan melindungi hak umum, lembaga ini bertugas mengawasi kegiatan umum. Termasuk pedagang dan pekerja, tujuannya memastikan bahwa mereka patuh terhadap hukum syariat dan tidak melenceng dari aturan Islam, yang merugikan pihak-pihak tertentu.
Larangan penimbunan barang (ihtikaar)
Negara Islam melarang praktik penimbunan barang, seperti bahan pokok yang bisa menghambat suplai pasar karena pasokan yang tak seimbang dengan permintaan menjadikan harga di pasaran tinggi dan sulit dijangkau masyarakat pada umumnya. Sejatinya menimbun barang yang dibutuhkan masyarakat merupakan bentuk kezaliman.
Penimbun adalah oknum yang sengaja membeli barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan, lalu menahan dari menjualnya dan menunggu banyak permintaan di pasaran dengan mematok harga yang tinggi. Maka, penguasa wajib memaksa penimbun untuk menjual barang timbunannya terhadap masyarakat yang membutuhkan dengan harga yang semestinya.
Larangan Intervensi Harga (tas’ir)
Seharusnya negara tidak mematok harga barang atau jasa bagi pedagang. Karena memungkinkan terjadinya praktik kotor sehingga dapat merugikan produsen maupun konsumen.
Diriwayatkan, Anas ra. Dia berkata bahwa harga melonjak pada masa Rasulullah saw. Lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menetapkan harga?” Beliau menjawab, “Sungguh Allahlah Yang Maha Menahan dan Memberi rezeki, Yang Maha Pemberi harga. Aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun menuntut aku tentang kezaliman dalam darah dan harta." (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Maka disini tugas Qadhi hisbah mengawasi pedagang yang melakukan muamalah batil dan bahkan memaksa pedagang untuk melakukan muamalah dengan harga yang semestinya. Sehingga tidak terjadi lagi praktik kotor seperti mengambil kelebihan atas harga yang semestinya, dan hal macam ini harus dilakukan mengingat banyak terjadinya ketimpangan harga di tengah-tengah masyarakat.
Mendapat Akses Informasi Pasar
Kurangnya informasi harga pasar, bahkan tak jarang para tengkulak atau pembeli dengan sengaja menutup akses informasi harga pasar yang mengakibatkan terjadinya praktik-praktik tidak sehat terhadap harga pasar yang sebenarnya. Hal tersebut termasuk kemungkaran. Bahwasannya tidak diperkenankan membeli barang dagangan sebelum si penjual tiba di pasar, karena dikhawatirkan akan terjadi kerugian bagi salah satu pihak dengan harga yang yang ditentukan, karena tidak mengetahui harga pasar. Lalu pembeli membeli barangnya dengan harga di bawah nilai sebenarnya. Jika transaksi telah terjadi dan harga di pasar tidak sesuai dengan harga sebelumnya, maka boleh hukumnya penjual membatalkan atau melanjutkan jual beli tersebut sebagai hak khiyar sebagai yang telah Nabi saw contohkan.
Berdasarkan hal itu, dapat pula dipahami bahwa pentingnya negara memberikan akses informasi yang valid mengenai harga pasar suatu komoditas, banyaknya produksi, serta ketersediaan stok, dan konsumsinya. Semua itu dapat menekan praktik kecurangan. Ini juga sekaligus menjadi wasilah bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat jika, misalnya, terjadi lonjakan harga akibat kurangnya pasokan.
Peningkatan Pasokan
Agar harga pangan tetap terjangkau kadang kala peningkatan pasokan oleh pemerintah harus dilakukan sebagai antisipasi pemerintah dalam menjamin ketersediaan barang. Karena ketika negara tidak mampu memproduksi cukup permintaan dan mengakibatkan kenaikan harga maka pemerintah dapat melakukan pemasokan dari wilayah atau negara lain dalam mengatasi masalah tersebut.
Hal ini telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika terjadi masa paceklik, seperti yang dituturkan oleh Ibnu Atsir (1997) sebagai berikut.
Khalifah Umar pernah menulis surat kepada para gubernur (wali) wilayah untuk meminta pertolongan bagi penduduk Madinah dan sekitarnya, dan meminta pasokan makanan. Yang pertama kali datang kepada beliau adalah Abu Ubaidah bin Jarrah dengan 4 ribu unta bermuatan makanan. Khalifah Umar memerintahkannya untuk membagikan makanan itu kepada penduduk sekitar Madinah. Setelah membagi semuanya, Abu Ubaidah kembali ke tugasnya. Kemudian orang-orang berdatangan dengan pasokan makanan dan penduduk Hijaz menjadi berkecukupan. Amru bin Ash memperbaiki jalur Laut Qulzum (Laut Merah) dan mengirimkan makanan melalui jalur itu ke Madinah. Harga makanan di Madinah menjadi sama dengan harga di Mesir.
Demikianlah aturan Islam yang dipraktikan di negara khilafah di mana kebutuhan dasar masyarakat menjadi sepenuhnya tanggung jawab negara dan menjamin pemenuhannya bukan hanya kesejahteraan rakyat semata, tetapi sekaligus untuk mendapat rida Allah Swt. Dengan menerapkan aturan Sang Khaliq secara hak dan menyeluruh.
Wallahualam bissawab.